Masalah Penyakit Kusta (Lepra)

ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Dr. Suparyanto, M.Kes



2.3.1   Pengertian Penyakit kusta
Penyakit kusta yaitu penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya sanggup menyerang kulit, mukosa (kulit), saluran pernafasan pecahan atas, sistem retikulo endothelial, mata, otot, tulang dan testis (Subdirektorat Kusta dan Frambusia, 2007). Kusta atau lepra (leprosy) atau disebut juga Morbus Hansen merupakan penyakit menular kronis yang disebabkan oleh basil Mycobacterium leprae, melalui kulit dan mukosa hidung. Penyakit kusta terutama menyerang saraf tepi, kulit dan organ tubuh lain kecuali susunan saraf sentra yang apabila tidak didiagnosis dan diobati secara dini sanggup menjadikan keanehan (Subdirektorat Kusta dan Frambusia, 2007).
Kusta merupakan penyakit infeksi yang kronik, dan penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai acara afinitas pertama, kemudian kulit dan mukosa traktus respiratorius pecahan atas, kemudian ke organ lain. (Djuanda, 2011)
Penyakit kusta yaitu penyakit menular yang menahun dan penularannya kepada orang lain memerlukan waktu yang cukup usang tidak mirip penyakit lainnya. Masa inkubasinya yaitu 2-5 tahun. Penyakit ini menyerang kulit, mukosa mulut, saluran pernafasan pecahan atas, mata, otot, tulang dan testis. Pada kebanyakan orang yang terinfeksi sanggup asimtomatik. Namun pada sebagian kecil memperhatikan gejala-gejala yang memiliki kecenderungan untuk menjadi cacat khususnya pada tangan dan kaki (Departemen Kesehatan RI, 2006).

2.3.2   Sejarah
Penyakit kusta telah menyerang insan sepanjang sejarah. Banyak para jago percaya bahwa goresan pena pertama perihal kusta muncul dalam sebuah dokumen Papirus Mesir ditulis sekitar tahun 1550 SM. Sekitar tahun 600 SM, ditemukan sebuah goresan pena berbahasa India menggambarkan penyakit yang ibarat kusta. Di Eropa, kusta pertama kali muncul dalam catatan Yunani Kuno setelah tentara Alexander Agung kembali dari India. Kemudian di Roma pada 62 SM bertepatan dengan kembalinya pasukan Pompei dari Asia Kecil.
Sepanjang sejarahnya, kusta telah ditakuti dan disalah pahami. Untuk waktu yang usang kusta dianggap sebagai penyakit keturunan, kutukan, atau eksekusi dari Tuhan. Sebelum dan bahkan setelah inovasi basil penyebab kusta, orang yang pernah mengalami kusta menghadapi stigma dan dijauhi oleh masyarakat.
Pada tahun 1873, Dr Gerhard Armauer Henrik Hansen dari Norwegia yaitu orang pertama yang mengidentifikasi kuman yang mengakibatkan penyakit kusta di bawah mikroskop. Hansen inovasi Mycobacterium leprae mengambarkan bahwa kusta disebabkan oleh kuman, dan dengan demikian tidak turun-temurun, dari kutukan, atau dari dosa.
Pada tahun 1941, Promin, sebuah sulfon obat, diperkenalkan sebagai obat untuk kusta. Pertama kali diidentifikasi dan digunakan di Carville. Promin berhasil merawat kusta tapi sayangnya Promin menjadikan dampak yang menyakitkan ketika disuntikkan pada pasien.
Pada tahun 1950, Pil Dapson, ditemukan oleh Dr R.G. Cochrane di Carville, menjadi pilihan untuk pengobatan kusta. Dapson bekerja luar biasa pada awalnya, tetapi sayangnya, Micobacterium leprae pada jadinya mulai menyebarkan perlawanan terhadap dapson. Sukses pertama multi-obat perawatan (MDT) rejimen untuk kusta dikembangkan melalui uji coba obat di pulau Malta. Organisasi Kesehatan Dunia merekomendasikan MDT mulai, kombinasi dari tiga obat: dapson, rifampisin, dan clofazimine. (Perhimpunan Mandiri Kusta Indonesia, 2012).

2.3.3   Etiologi
Penyebab penyakit kusta yaitu Mycobactorium Leprae dimana untuk pertama kali ditemukan oleh G.H. Armauer Hansen pada tahun 1973. Mycobactorium Leprae hidup intraseluler dan memiliki afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan Cell) dan sel dari system retikulo endothelial. Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh insan (dalam kondisi tropis) kuman kusta dari secret nasal sanggup bertahan hingga 9 hari (Desikan 1977, Hasting, 1985). Pertumbuhan optimal in vivo kuman kusta pada tikus yaitu pada suhu 27-30° C (Departemen Kesehatan RI, 2006).

2.3.4   Manifestasi Penyakit Kusta
Untuk memutuskan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau Cardinal Sign,yaitu :
1)      Lesi (kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi sanggup berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau kemerah-merahan (erithematous) yang mati rasa (anaesthesi).
2)      Penebalan saraf yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan tanggapan dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis peritis). Gangguan fungsi saraf ini bisa berupa :
a.    Gangguan fungsi sensoris   : mati rasa
b.   Gangguan fungsi motoris   : kelemahan otot (parese) atau kelumpuhan (paralise)
c.    Gangguan fungsi otonom   : kulit kering dan retak-retak.
3)      Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (BTA positif).
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tanda-tanda utama di atas. Pada dasarnya sebagian besar masalah sanggup di diagnosis dengan investigasi klinis. Namun demikian pada masalah yang mencurigai sanggup dilakukan investigasi kerokan kulit. Apabila hanya ditemukan Cardinal Sign ke-2 perlu dirujuk kepada wasor atau jago kusta, jikalau masih ragu orang tersebut dianggap sebagai masalah yang dicurigai (suspek).
Tanda-tanda tersangka kusta (suspek)
1)      Tanda-tanda pada kulit
a.    Bercak/kelainan kulit yang merah atau putih dibagian tubuh
b.   Bercak yang tidak gatal dan Kulit mengkilap
c.    Adanya pecahan tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut
d.   Lepuh tidak nyeri
2)      Tanda-tanda pada saraf
a.    Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota tubuh atau muka
b.   Gangguan gerak anggota tubuh atau pecahan muka
c.    Adanya cacat (deformitas) dan luka (ulkus) yang tidak mau sembuh

2.3.5   Derajat Cacat Kusta
Menurut Djuanda, A, 2011 membagi cacat kusta menjadi 2 tingkat kecacatan, yaitu:
a.    Cacat pada tangan dan kaki
1)        Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas yang terlihat.
2)        Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas, tanpa kerusakan atau deformitas yang terlihat.
3)        Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas.
b.    Cacat pada mata
1)   Tingkat 0  : tidak ada gangguan pada mata tanggapan kusta; tidak ada gangguan penglihatan.
2)   Tingkat 1  : ada gangguan pada mata tanggapan kusta; tidak ada gangguan yang berat pada penglihatan. Visus 6/60 atau lebih baik (dapat menghitung jari pada jarak 6 meter).
3)   Tingkat 2   : gangguan penglihatan berat (visus kurang dari 6/60; tidak sanggup menghitung jari pada jarak 6 meter).

2.3.6   Jenis – Jenis Cacat kusta
Menurut Djuanda A. (2011) jenis dari cacat kusta dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu :
a.    Cacat primer
Adalah kelompok cacat yang disebabkan eksklusif oleh acara penyakit, terutama kerusakan tanggapan respon jaringan terhadap mycobacterium leprae. Termasuk kedalam cacat primer yaitu :
1)      Cacat pada fungsi saraf
a)    Fungsi saraf sensorik contohnya : anestesi
b)   Fungsi saraf motorik contohnya : daw hand, wist drop, fot drop, clow tes, lagoptalmus
c)    Fungsi saraf otonom sanggup mengakibatkan kulit menjadi kering dan elastisitas kulit berkurang, serta gangguan reflek vasodilatasi.
2)      Inflamasi kuman pada kulit dan jaringan subkutan mengakibatkan kulit berkerut dan berlipat-lipat.
3)      Cacat pada jaringan lain tanggapan infiltrasi kuman kusta sanggup terjadi pada tendon, ligamen, tulang rawan, testis, dan bola mata.
b.    Cacat sekunder
1)      Cacat ini terjadi tanggapan cacat primer, terutama adanya kerusakan saraf sensorik, motorik, dan otonom.
2)      Kelumpuhan motorik mengakibatkan kontraktur, sehingga terjadi gangguan berjalan dan gampang terjadinya luka.
3)      Lagoptalmus mengakibatkan kornea menjadi kering dan memudahkan terjadinya kreatitis.
4)      Kelumpuhan saraf otonom menjadikan kulit kering dan berkurangnya elastisitas tanggapan kulit gampang retak dan terjadi infeksi skunder.

2.3.7   Klasifikasi Penyakit Kusta
a.       Tujuan klasifikasi
1)      Untuk memilih rejimen pengobatan, prognosis, dan komplikasi.
2)      Untuk merencanakan operasional, contohnya menemukan pasien-pasien yang menular yang memiliki nilai epidemiologis tinggi sebagai sasaran utama pengobatan.
3)      Untuk identifikasi pasien yang kemungkinan besar akan menderita cacat.
b.    Jenis penjabaran yang umum
Klasifikasi untuk kepentingan jadwal kusta WHO :

1)   Pausibasilar (PB)
Penderita kusta yang memiliki kelainan dengan jumlah lesi 1-5, penebalan syaraf hanya 1 disertai dengan gangguan fungsi dan investigasi Basil Tahan Asam (BTA) negatif.
2)      Multibasilar (MB)
Kelainan kulit dengan jumlah lesi lebih dari 5, penebalan syaraf lebih dari 2 disertai gangguan fungsi dan investigasi Basil Tahan Asam (BTA) positif.

2.3.8   Stigma terhadap Kusta
Stigma yaitu ciri negatif atau label yang diberikan pada seseorang atau kelompok tertentu. Stigma sanggup pula diartikan sebagai keyakinan atau kepercayaan yang salah dan lebih sering merupakan kabar angin yang dihembuskan menurut reaksi emosi untuk mengucilkan dan menghukum mereka yang bahwasanya memerlukan pertolongan (Poerwanto, 2006).
Kusta yaitu salah satu dari penyakit yang memiliki stigma social yang tinggi. Stigma social pada kusta dihubungkan dengan mitos dan kepercayaan terhadap penyakit kusta. Penderita kusta tidak hanya mengalami kerusakan secara fisik namun juga menderita secara psikososial lantaran sikap lingkungan. Pembatasan secara fisik dan psikososial secara jangka panjang lambat laun akan menyingkirkan penderita dari masyarakat. Penderita dengan cacat mengalami ketidakmampuan untuk berperan secara normal dalam masyarakat, yang disebut sebagai pembatasan partisipasi. Hal ini secara jangka panjang akan menjadikan pengangguran, kemiskinan, kehilangan status sosial, dan harga diri penderita kusta. Kurangnya proteksi soSial dan kepercayaan diri, beberapa penderita yang tidak menjalani rehabilitasi bahkan ada yang menjadi pengemis (Kaur & Brahel, 2002).

2.3.9   Aspek Sosial pada Penyakit kusta
Dari segala jenis penyakit di dunia ini, tidak ada satu pun yang mengungguli penyakit kusta dalam hal aspek sosialnya. Dampak sosial tanggapan penyakit kusta sedemikian besarnya, sehingga menjadikan keresahan yang sangat mendalam, tidak hanya pada penderita itu sendiri, tetapi juga pada keluarga, masyarakat dan negara. Beberapa tanggapan yang dialami oleh penderita kusta lantaran anggapan masyarakat yang takut akan penularan kusta sehingga diperlakukan tidak manusiawi antara lain:
a.       Ditolak atau ditinggalkan oleh keluarganya.
b.      Dipaksa bersembunyi.
c.       Dikucilkan atau dipasung oleh keluarganya.
d.      Dibuang secara paksa.
e.       Dikejar-kejar atau diusir dari desa.
f.       Dikeluarkan dari sekolah atau kawasan kerjanya.
g.      Ditolak bekerja dalam suatu lingkukngan pekerjaan dengan banyak sekali macam alasan.
h.      Sukar menjual barang-barang dagangan atau hasil produksi mereka.
i.        Mendapat perlakuan kasar, bahkan kadang kala dihina.

2.3.10    Dampak Psikososial Penyakit Sosial
Permasalahan penyakit kusta bila dikaji secara mendalam merupakan permasalah yang kompleks. Masalah yang dihadapi penderita bukan hanya problem medis tetapi juga menyangkut problem psikososial. Dampak psikososial yang disebabkan oleh penyakit kusta sangat luas sehingga menjadikan keresahan bukan hanya oleh penderita sendiri tetapi juga bagi keluarga, masyarakat dan Negara. Hal yang mendasari konsep sikap penerimaan masyarakat yaitu anggapan bahwa penyakit kusta merupakan penyakit keturunan, bahkan menganggap penyakit tersebut merupakan kutukan dari Tuhan. Hal ini menjadikan suatu ketakutan yang hiperbola terhadap penyakit kusta yang disebut sebagai leprophobia (Rahayu, 2011).

2.1.  Pengobatan Penyakit Kusta
2.4.1   Tujuan Pengobatan
Melalui pengobatan, penderita diberikan obat-obat yang sanggup membunuh kuman kusta, dengan demikian pengobatan akan:
a.         Memutuskan mata rantai penularan
b.         Menyembuhkan penyakit penderita
c.         Mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan.
Pengobatan penderita kusta ditujukan untuk mematikan kuman kusta sehingga tidak berdaya merusak jaringan tubuh dan tanda-tanda penyakit jadi kurang aktif hingga jadinya hilang. Dengan hancurnya kuman maka sumber penularan dari penderita terutama tipe MB ke orang lain terputus.
Penderita yang sudah dalam keadaan cacat permanen, pengobatan, hanya sanggup mencegah cacat lebih lanjut.
Bila penderita kusta tidak minum obat secara teratur, maka kuman kusta sanggup menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala gres pada kulit dan saraf yang sanggup memperburuk keadaan. Di sinilah pentingnya pengobatan sedini mungkin dan teratur. Selama dalam pengobatan penderita-penderita sanggup terus bersekolah atau bekerja mirip biasa (Departemen Kesehatan RI, 2006).

2.4.2   Obat – Obatan yang Digunakan
Menurut World Healty Organisation (WHO) pada tahun 1998 menambahkan 3 (tiga) obat antibiotika lain untuk pengobatan alternatif yaitu: ofloksasin, minosilin dan  klarifomisin, sedangkan obat anti kusta yang banyak digunakan ketika ini yaitu DDS (Diamino Diphenyl Suffone), clofazimine, dan rifampizine.
a.       DDS (Diamino Diphenyl Suffone)
1.        Singkatan dari Diamino Diphenyl Sulfone
2.        Bentuk obat berupa tablet warna putih dengan takaran 50 mg/tab dan 100 mg/tablet
3.        Bersifat bakteriostatik yaitu menghalangi/menghambat pertumbuhan kuman kusta.
4.        Dosis cendekia balig cukup akal 100 mg/hari, anak 10-14 tahun 50 mg/hari.

b.      Lamprene (B663) juga disebut Clofazimine
1.   Bentuk kapsul, warna coklat, dengan takaran 50 mg/kapsul dan 100 mg/kapsul.
2.   Sifat
a)    Bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta, bakterisid lemah.
b)   Anti reaksi (menekan reaksi sebagai anti inflamasi)
3.   Cara pemberian : secara oral, diminum sehabis makan untuk menghindari gangguan gastrointestinal.
c.       Rifampicin
1.        Bentuk : Kapsul atau tablet takaran 150 mg, 300 mg, 450 mg dan 600 mg.
2.        Sifat mematikan kuman kusta secara cepat (bakterisid), 99% kuman kusta mati dalam satu kali pemberian.
3.        Cara pemberian obat : cara oral, bila diminum setengah jam sebelum makan, perembesan lebih baik.
d.      Obat-obatan penunjang (Vitamin/Roboransia)
1.      Sulfat Ferrosus
Obat komplemen untuk penderita kusta yang anemia berat.
2.      Vitamin A
Obat ini digunakan untuk penyehatan kulit yang bersisik (ichtyosis).
3.      Neurotropik
Penyakit kusta yaitu penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman  MASALAH PENYAKIT KUSTA (LEPRA)
Gambar 2.1 Kemasan (Blister) obat kusta

2.4.3   Keteraturan Berobat pada Penderita kusta
a.    Minum Obat Sesuai Petunjuk
Regimen MDT (Obat Kombinasi) yang dianjurkan oleh WHO adalah:
1)        Penderita Kusta Kering (PB)
Dewasa:
a)    Pengobatan Bulanan: Hari Pertama (dosis yang diminum di depan petugas) yaitu 2 kapsul Rifampisin dan 1 tablet Dapsone.
b)   Pengobatan harian: Hari ke 2 hingga hari ke 28 (dibawa pulang) 1 tablet Dapsone. Penderita akan memperoleh obat MDT dari Puskesmas sebanyak 6 Blister untuk diminum selama 6 bulan.
2)        Penderita Kusta Basah (MB)
Dewasa:
a)    Pengobatan Bulanan : Hari Pertama (Dosis yang diminum didepan petugas) yaitu 2 kapsul Rifampisin, 3 Kapsul Lampren, dan 1 tablet Dapsone
b)   Pengobatan harian : Hari ke 2 hingga hari ke 28 (dibawa pulang) 1 tablet Lampren dan 1 tablet Dapsone diminum setiap hari. Setiap penderita kusta tipe MB akan mendapat 12 blister obat MDT dari Puskesmas untuk diminum selama 12 bulan.
b.    Jadwal Pengambilan Obat
Pengambilan obat setiap bulan yang telah diadaptasi dengan tanggalnya. Petugas harus memonitoring tanggal pengambilan obat. Penderita dilarang telat dalam mengambil obatnya,  jika Penderita terlambat mengambil obat, paling usang dalam 1 bulan harus dilakukan pelacakan.

2.2.  Reaksi Terhadap Obat Kusta
Reaksi kusta yaitu suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit kusta yang merupakan reaksi kekebalan (cellular respons) atau reaksi antigen antibody (humoral respons) dengan tanggapan merugikan penderita. Reaksi ini sanggup terjadi sebelum pada saat, maupun sehabis pengobatan. Umumnya ditandai dengan bercak bertambah merah disertai dengan peradangan akut pada kulit, syaraf, timbul benjolan kemerahan yang nyeri, syaraf tepi menjadi sakit, nyeri dan bengkak, demam dan lesu, tangan dan kaki mungkin membengkak. Paling sering terjadi pada 6 bulan hingga 1 tahun setelah selesai pengobatan. Reaksi kusta merupakan insiden awal terjadinya keanehan bila dideteksi dan diobati dengan obat dan takaran khusus memakai Prednisone. Ada 2 macam reaksi kusta yaitu reaksi tipe I (Reversal reaction) dan reaksi tipe II (Erythema Nodusum Leprosum). Hal-hal yang mempermudah terjadinya reaksi kusta contohnya : penderita dalam kondisi lemah, kehamilan, sehabis mendapat imunisasi, pembedahan, sters fisikdan ketika setelah melahirkan.
Ada beberapa reaksi atau dampak terhadap penderita yang mengalami alergi terhadap pengobatan.

Tabel 2.1 Efek samping yang disebabkan obat dan penanganannya

Efek samping
Nama obat
Penanganan
Ringan :
a.       Air seni berwarna merah




b.      Perubahan warna kulit menjadi coklat
c.       Masalah gastrointestinal



d.      Anemia

Rifampisin




Clofazimin

Semua obat (3 obat dalam MDT)


Dapson

Reassurance (menenangkan penderita dengan klarifikasi yang benar)
Konseling

Obat diminum bersama dengan masakan atau setelah makan
Berikan tablet Fe dan asam folat.
Serius :
a.       Ruam kulit yang gatal

b.      Alergi, urtikaria

c.       Ikterus (kuning)

d.      Shock, purpura, gagal ginjal


Dapson

Dapson atau rifampisin
Rifampisin

Rifampisin

Hentikan dapson, rujuk
Hentikan keduanya, rujuk
Hentikan rifampisin, rujuk
Hentikan rifampisin, rujuk
(Sumber: Djuanda, 2011)


2.3.   Release From Treatment (RFT)
2.6.1. Pengertian
Release From Treatment (RFT) berarti berhenti minum obat. Setelah penderita menuntaskan pengobatan MDT sesuai dengan peraturan maka ia akan menyatakan Release From Treatment (RFT), yang berarti tidak perlu lagi makan obat MDT dan dianggap sudah sembuh. Pada waktu menyatakan RFT kepada penderita, petugas harus memberi klarifikasi perihal arti dan maksud RFT, yaitu :
a.    Pengobatan telah selesai.
b.    Penderita harus memelihara tangan dan kaki dengan baik supaya janga hingga luka.
c.    Bila ada tanda-tanda baru, penderita harus segera tiba untuk periksaan ulang.

2.6.2 Sebelum Dinyatakan RFT
Sebelum penderita dinyatakan RFT, petugas kesehatan harus :
a.    Mengisi dan menggambarkan dengan terperinci pada lembaran komplemen RFT secara teliti.
1)   Semua bercak masih nampak.
2)   Kulit yang hilang atau kurang rasa terutama ditelapak kaki dan tangan.
3)   Semua syaraf yang masih tebal.
4)   Semua cacat yang masih ada.
b.    Mengambil skin semar (sesudah skin semarnya diambil maka penderita eksklusif dinyatakan RFT tidak perlu menunggu hasil skin semar).
c.    Mencatat data tingkat cacat dan hasil investigasi skin semar dibuku register.

       2.6.3 Monitoring dan Evaluasi Pengobatan
a.    Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat.
b.    Apabila penderita terlambat mengambil obat, paling usang dalam 1 bulan harus dilakukan pelacakan.
c.    RFT sanggup dinyatakan setelah takaran dipenuhi tanpa diharapkan investigasi laboratorium. Setelah RFT penderita dikeluarkan dari form monitoring penderita.
d.   Masa pengamatan : pengamatan setelah RFT dilakukan secara pasif.
1.   Tipe PB selama 2 tahun.
2.   Tipe MB selama 5 tahun diharapkan investigasi laboratorium.
e.    Penderita PB yang telah mendapat pengobatan 6 takaran (blister) dalam waktu 6-9 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus investigasi laboratorium.
f.     Penderita MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 takaran (blister) dalam waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa investigasi laboratorium (Departemen Kesehatan RI, 2006).

       2.6.4 Defaulter
Jika seorang penderita PB tidak mengambil atau minum obatnya lebih dari 3 bulan (tidak mungkin baginya untuk menuntaskan pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka mereka dinyatakan sebagai Defaulter(er) PB.
Jika seorang penderita MB tidak mengambil atau minum obatnya lebih dari 6 bulan (tidak mungkin baginya untuk menuntaskan pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), maka mereka dinyatakan sebagai Defaulter(er) MB (Departemen Kesehatan, 2006).


DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsini. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta: Jakarta.
Data Dinas Kesehatan Jombang. 2013. Analisa Situasi Program Pemberantasan Penyakit Kusta. Tidak Dipublikasikan.
Data Puskesmas Mayangan. 2014. Kohort P2 Kusta Puskesmas Mayangan.. Tidak Dipublikasikan.
Departemen Kesehatan R.I. 2006. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Cetakan XVIII. Tidak Dipublikasikan.
Dinas Kesehatan Jombang. 2012. Profil Kesehatan Jombang 2012. Tidak Dipublikasikan.
Djuanda, A. 2011. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Effendy, Nasrul. 2006. Dasar-Dasar Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC.
Fakhril. 2011. Penatalaksanaan Sederhana Tuberkulosis ( TBC ) & Kusta. Diakses dari: www.fafakhryl.blogspot.com.Tanggal kanal 12 Januari 2014.
Hidayat, A.A. 2009. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Medika.
______.2009. Pengukuran Motivasi. Diakses dari http://jurnalkebidananku.blogspot.com//search?q=. Tanggal kanal 15 November 2013.
Irwanto.2000.Motivasi dan Pengukuran Perilaku. Jakarta: PT Rineka Cipta
Kaur dan Van Brankel. 2002. Dehabilitation of Leprosy Affected People a Study On Leprosy Affected Beggars. Diakses dari:www.leprahealthnaction.org. Tanggal kanal 10 November 2013.
Kemenkes R.I. 2011. Menkes Canangkan Tahun Pencegahan Cacat Akibat Kusta. Diakses dari: www.bppd.depkes.go.id.Tanggal kanal 10 Desember 2013.
______.2010.WHO:17 Penyakit Tropis Terabaikan.Diakses dari: www.health.kompas.com.Tanggal kanal 8 November 2013.
Niven, Neil. 2002. PSIKOLOGI KESEHATAN Pengantar untuk Perawat & Profesional Kesehatan Lain. Jakarta: EGC
Noor. 2007. Buletin Penelitian Kesehatan: Epidemiologi Kusta. Diakses dari: www.buletinpenelitiankesehatan.blogspot.com. Tanggal kanal 10 Januari 2014.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Promo Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta
______. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
______.2012.Metodologi Penelitian Kesehatan.Jakarta: Rineka Cipta.
______.2010.Promosi Kesehatan:Teori dan Aplikasi.Edisi Revisi.Jakarta:Rineka Cipta.
Nursalam. 2008. Manajemen Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
______. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Permata. 2012. Sejarah Kusta. Diakses dari: www.permataindonesia2012.com. Tanggal kanal 10 November 2013.
Poerwanto. 2006. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Edisi 3. Jakarta:Balai Pustaka Departemen Pendidikan Nasional.
______.2000. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya
Sobur, Alex. 2011. Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia
Subdirektorat Kusta dan Frambusia.2007. Modul pembinaan jadwal kusta untuk UPK, Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur.Tidak Dipublikasikan.
Sugiono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
Walgito, Bimo. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi
WHO.2010.Weekly Epidemiological Record.Diakses dari:www.who.int. Tanggal kanal 13 Maret 2014.
Widayatun, Tri Rusmi. 2009.  ILMU PERILAKU. Jakarta: Sagung Seto

 

 


Sumber https://dr-suparyanto.blogspot.com/
ADSENSE 336 x 280 dan ADSENSE Link Ads 200 x 90

0 Response to "Masalah Penyakit Kusta (Lepra)"

Posting Komentar