ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Dr. Suparyanto, M.Kes PENYAKIT TYPHUS (THYPHOID ABDOMINALIS)
1. Pengertian Demam Tifoid
Demam tifoid merupakan penyakit abses akut usus halus. Sinonim dari demam tifoid dan paratifoid yakni tifoid dan paratifoid fever, enteric fever, tifus dan paratifus abdominalis. Demam paratifoid memperlihatkan manifestasi yang sama dengan tifoid, namun biasanya lebih ringan (Mansjoer, 2006).
Demam tifoid yakni abses akut pada saluran pencernaan yang disebabkan oleh salmonella typhi (Widoyono, 2012).
Demam tifoid yakni penyakit abses perut yang masih banyak ditemukan pada anak dan orang cukup umur (Surininah, 2009).
2. Etiologi Demam Tifoid
Penyebab demam tifoid yakni basil salmonella typhi. salmonella yakni basil gram-negatif, tidak berkapsul, memiliki flagela, dan tidak membentuk spora. Kuman ini memiliki tiga antigen yang penting untuk investigasi laboratorium, yaitu:
a) Antigen O (somatik),
b) Antigen H (flagela) dan
c) Antigen K (Selaput)
Etiologi demam tifoid yakni salmonella typhi. Sedangkan demam paratifoid disebabkan oleh organisme yang termasuk dalam spesies salmonella enteritidis, yaitu S. enteritidis bioserotipe paratif C. Kuman-kuman ini lebih dikenal dengan nama S. paratyphi A, S. schottmuelleri, dan S. hirschfeldii (Mansjoer, 2007).
Beberapa faktor resiko yang diduga menghipnotis terjangkitnya penyakit demam tifoid antara lain kesehatan lingkungan yang kurang memadai, kepadatan penduduk, penyediaan air minum yang tidak memenuhi syarat, hegiene perorangan yang kurang baiktingkat social ekonomi masyarakat, tingkat pendidikan masyarakat, (Hidayati, 2010).
3. Pemeriksaan serologis
Sampai ketika ini tes Widal merupakan reaksi serologis yang digunakan untuk membantu menegakkan diagnosa demam tifoid. Dasar tes Widal yakni reaksi aglutinasi antara antigen Salmonella typhosa dan antibodi yang terdapat pada serum penderita.
Ada 2 metode yang hingga ketika ini dikenal :
a) Widal cara tabung (konvensional)
b) Salmonella Slide Test (cara Slide)
Sampai ketika ini, tidak ada kepustakaan yang menyebutkan nilai titer Widal yang otoriter untuk memastikan diagnosa demam tifoid. Nilai sensifitas, spesifisitas, serta ramal reaksi Widal sanagat bervariasi dari satu laboratorium dengan laboratorium lainnya.
Disebut tidak sensitiv lantaran adanya sejumlah penderita dengan hasil biakan kasatmata tetapi tidak pernah dideteksi adanya antibodi dengan tes ini. Bila adanya titer antibodi sanggup dideteksi, sering kali titer naik sebelum timbul tanda-tanda klinis sehingga sulit untuk memperlihatkan terjadinya kenaikan titer yang berarti.
Disebut tidak spesifik lantaran semua group D Salmonella memiliki antigen O, demikian juga group A dan B salmonella. Semua group D Salmonella memiliki fase H antigen yang sama dengan Salmonella typhosa. Titer H tetap meningkat dalam waktu setelah infeksi.
Untuk sanggup memperlihatkan hasil yang akurat, tes Widal sebaiknya tidak hanya dilakukan satu kali saja melainkan perlu satu seri pemeriksaan, kecuali kalau hasil tersebut sesuai atau melewati nilai standart setempat.
Beberapa faktor yang menghipnotis reaksi Widal antara lain :
a. Faktor penderita
Faktor penderita mencakup :
a) Saat investigasi perjalanan penyakit
b) Pengobatan dini dengan antibiotika
c) Keadaan umum gizi penderita
d) Penyakit tertentu yang menghambat pembentukan antibody : agama-aglobulinemia, leukemia, tumor.
e) Pemakaian obat imunosupresif dan kortikosteroid.
f) Vaksinasi
g) Infeksi subklinis
h) Reaksi anamnestik
b. Faktor teknis
Faktor teknis mencakup :
a) Reaksi silang
b) Konsentrasi suspense antigen
c) Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen
Dari beberapa laporan, tiap rumah sakit memiliki nilai standart Widal tersendiri sehingga tes Widal tersebut diperlukan memiliki nilai diagnostic untuk membantu menegakkan diagnosis.
Surabaya, titer widal ≥1/200
Yogyakarta ≥1/160
Manado ≥1/80
Jakarta (Rockhil dkk,1981) ≥1/40
Tes Widal tidak sanggup digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid kalau hanya dilakukan satu kali saja. Kenaikkan titer Widal pada satu seri investigasi Widal atau kenaikkan titer 4 kali pada investigasi berikutnya sanggup membantu memastikandiagnosis demam tifoid.
(Rampengan, 2008)
4. Penularan Demam Tifoid
Penularan penyakit yakni melalui air dan makanan. Kuman salmonela sanggup bertahan usang dalam makanan. Penggunaan air minum secara masal yang terkotori basil sering menjadikan terjadinya KLB. Vektor berupa serangga juga berperan dalam penularan penyakit (Widoyono, 2012).
5. Tanda dan gejala
Masa tunas 7-14 (rata-rata 3 – 30) hari, selama inkubasi ditemukan tanda-tanda prodormal (gejala awal tumbuhnya penyakit/gejala yang tidak khas):
a) Perasaan tidak yummy badan
b) Lesu
c) Nyeri kepala
d) Pusing
e) Diare
f) Anoreksia
g) Batuk
h) Nyeri otot
(Mansjoer, 2007).
Menurut Widoyono (2012) tanda dan tanda-tanda Demm Tifoid yaitu demam lebih dari tujuh hari yakni tanda-tanda yang paling menonjol. Demam ini sanggup diikuti oleh tanda-tanda tidak khas lainnya menyerupai diare, anoreksia atau batuk. Pada keadaan perforasi usus, perdarahan usus, dan koma. Diagnosis ditegakkan ada keadaan perforasi usus, perdarahan usus, dan koma. Diagnosis ditegakkan menurut adanya salmonella dalam darah melalui kultur. Karena isolasi salmonella relatif sulit dan lama, maka investigasi serologi widal untuk mendeteksi antigen O dan H sering digunakan sebagai alternatif. Titer ≥ 1/40 dianggap kasatmata demam tifoid.
Menurut Surininah (2009) tanda-tanda tifoid yakni sebagai berikut:
a) Demam lebih dari satu ahad yang biasanya dimulai dengan demam ringan, yang berangsur-angsur meningkat, biasanya demam turun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Bila penyakit berlanjut, demam akan terjadi terus-menerus baik pagi, siang atau malam.
b) Gangguan pada saluran pencernaan sanggup berupa diare atau sembelit.
c) Anak tampak lemah, lesu, tidak mau bermain dan tidak mau makan.
d) Napas berbau tidak sedap, bibir kering dan pecah-pecah, pengecap putih kotor, ujung tepi pengecap kemerahan.
6. Pengobatan Demam Tifoid
Dalam pengelolaan pengobatannya:
a) Pengaturan kuliner perlu diutamakan, yaitu kuliner cair atau lembek, disertai istirahat di kawasan tidur.
b) Bila si penderita kooperatif dan mau mengikuti hikmah istirahat dan hukum makan, barangkali penderita demam tifoid tidak perlu hingga dirawat di Rumah Sakit. Karena obat-obat pembunuh kuman tifoid kini sudah banyak yang bagus.
c) Kecuali pada keadaan tertentu dimana kondisi tubuh penderita sudah demikian jelek, sehingga perlu proteksi kuliner dan obat-obatan melalui infus atau sonde (Faisal, 2004).
7. Komplikasi Demam Tifoid
Komplikasi demam tifoid sanggup dibagi dalam :
Komplikasi intestinal
a) Perdarahan usus
b) Perforasi usus
c) Ileus paralitik
Komplikasi ekstraintestinal
a) Komplikasi kardiovaskular: kegagalan sirkulasi perifer (renjatan, sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b) Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia dan atau koagulasi intravaskular diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.
c) Komplikasi paru: pneumonia, empiema dan pleuritis.
d) Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolitiasis.
e) Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, piolonefritis, dan perinefritis.
f) Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artitis.
g) Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, sindrom guillain-barre, psikosis dan sindrom katatonia.
(Mansjoer, 2006)
8. Penanganan Demam Tifoid
a) Istirahat tirah baring.
b) Habiskan antibiotika yang diresepkan hingga tuntas sesuai petunjuk.
c) Atasi demam dengan obat penurun panas.
d) Diet makan lunak menyerupai bubur atau nasi lembek.
e) Hindari kuliner yang merangsang menyerupai asam, banyak serat, cabe.
(Surininah, 2009).
Menurut Rampengan (2008) penanganan Demam Tifoid adalah
1) Perawatan
Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi, serta pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas, tetapi tidak harus tirah baring tepat menyerupai pada perawatn demam tifoid di masa lalu. Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi penderita.
2) Diet
Penderita diberi diet yang terdiri dari bubur saring, kemudian bubur garang dan alhasil nasi sesuai dengan tingkat kekambuhan penderita.
3) Obat-obatan
Demam tifoid merupakan penyakit abses dengan angka ajal yang tinggi sebelum adanya obat-obatan antimikroba (10-15%). Obat-obatan antimikroba yang sering digunakan antara lain:
a) Kloramfenikol
b) Tiamfenikol
c) Kotrimoksasol
d) Ampisilin
e) Amoksilin
f) Amoksisilin
g) Seftriakson
h) Sefotaksim
i) Siprofloksasin (usia >10 tahun)
9. Pencegahan Demam Tifoid
Kebersihan kuliner dan minuman sangat penting untuk mencegah demam tifoid. Merebus air minum hingga mendidih dan memasak kuliner hingga matang juga sangat membantu. Selain itu juga perlu dilakukan sanitasi lingkungan termasuk membuang sampah di tempatnya dengan baik dan pelaksanaan jadwal imunisasi (Widoyono, 2012).
Pencegahan demam Tifoid diupayakan melalui aneka macam cara : umum dan khusus/imunisasi. Termasuk cara umum antara lain yakni peningkatan higiene lantaran perbaikan higiene dan sampah). Menjaga kebersihan langsung dan menjaga apa yang masuk lisan (diminum atau dimakan) tidak terkotori Salmonella Typhi. Pemutusan rantai tranmisi juga penting dan pengawasan terhadap penjual (keliling) minuman/makanan (Darmowandoyo, 2002).
Menurut Surininah (2009) pencegahan tifoid yang sanggup dilakukan :
a) Makanlah kuliner yang terjaga kebersihannya, jajanan yang tidak terjamin kebersihannya sering merupakan sumber penularan.
b) Minum air yang dimasak dengan benar.
c) Atasi demam dengan obat penurun panas.
d) Diet makan lunak menyerupai bubur atau nasi lembek.
e) Hindari kuliner yang merangsang menyerupai asam, banyak serat, cabe.
Menurut Rampengan (2008) pencegahan tifoid yakni sebagai berikut :
Usaha terhadap lingkungan hidup:
a) Penyediaan air minum yang memenuhi syarat.
b) Pembuangan kotoran insan yang higienis.
c) Pemberantasan lalat.
d) Pengawasan terhadap penjual makanan.
Usaha terhadap manusia:
a) Imunisasi
b) Menemukan dan mengobati karier.
c) Pendidikan kesehatan masyarakat.
Menurut Yanuar (2008) pencegahan tifoid yakni sebagai berikut :
a) Biasakan makan kuliner yang sudah dimasak.
b) Biasakan minuman yang sudah dimasak.
c) Lindungi kuliner dari lalat, kecoa dan tikus.
d) Cuci tangan dengan sabun setelah ke WC dan sebelum makan.
e) Hindari jajan di tempat-tempat yang kurang bersih.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adi, R. 2004. Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum. Edisi 1. Jakarta: Granit
2. Alimul, Hidayat. 2009. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data. Jakarta: Rineka Cipta.
3. . 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta. Salemba Medika.
4. Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta : Rineka Cipta.
5. Azwar, Saifudin. 2011. Sikap Manusia Teori dan Pengukurannya. Yogyakarta Pustaka Pelajar.
6. Widodo, Darmowandoyo, 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Infeksi dan Penyakit Tropis. Edisi Pertama. Jakarta : Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI:367-375
7. Depkes RI. 2010. Angka Kejadian tifus di Indonesia. http://www.library.upnvj.ac.id/pdf. Diakses 23/01/2013.
8. Dinkes Jombang. 2012. Jumlah tragedi tifoid di Jombang. Dinkes Jombang.
9. Dorotyh E. Johnson, 2006. Nursing Theorists and Their Work. St. Louis, Missouri. USA. Westline Industrial Drive.
10. Effendy. 2004. Dasar-dasar Kepewatan Kesehatan Masyarakat. Jakarta. EGC.
11. Faisal. 2004. Macam-macam penyakit menular dan pencegahannya. Jakarta:Pustaka Populer Obor.
12. Hadisaputro. Masalah Demam tifoid. http://digilib.unimus.ac.id. Diakses 23/01/2013.
13. Hidayati. 2010. Faktor penyebab penyakit tifoid. http://ejournal.uin-malang.ac.id. Diakses 12/02/2013.
14. Kusrini, Koniyo Andri. Tuntutan Mudah Membangun Sistem Informasi Akutansi dengan Visual basic dan Mocrosoft SQL Server. Yogyakarta. C.V ANDI OFFSET
15. Mansjoer. 2007. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI.
16. Ngastiyah. 2005. Perawatan Anak Sakit. Jakarta. EGC.
17. Notoatmodjo, 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : Rineka Cipta.
18. . 2007. Kesehatan Masyarakat, Ilmu dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta
19. . 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.
20. Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan : Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian. Jakarta : Salemba Medika.
21. Rampengan. 2008. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Jakarta. EGC.
22. Riana Afriadi. 2008. Penyakit Perut. Bandung. Puri Delco.
23. Sunaryo. 2004. Psikologi Keperawatan. Jakarta. EGC.
24. Suprajitno. 2004. Asuhan Keperawatan Keluarga. Jakarta. EGC.
25. Surininah. 2009. Buku Pintar Mengasuh Batita. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
26. Timmreck, TC. 2005. Epidemiologi Suatu Pengantar Edisi 2. Jakarta: EGC
27. Walgito. 2007. Psikologi Sosial Suatu Pengantar. Bandung. Penerbit Andi.
28. Wawan dan Dewi. 2010. Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Yogyakarta. Nuha Medika.
29. Widoyono. 2012. Penyakit Tropis Epidemiologi, Penularan, Pencegahan dan Pemberantasannya. Jakarta. Erlangga.
30. Yanuar. 2008. Penyakit Perut. Puri Delco. Bandung.
Sumber https://dr-suparyanto.blogspot.com/
0 Response to "Penyakit Typhus (Thyphoid Abdominalis)"
Posting Komentar