Sekilas Perihal Pertusis

ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Dr. Suparyanto, M.Kes

SEKILAS TENTANG PERTUSIS

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG
Pertusis atau yang lebih dikenal orang awam sebagai “batuk rejan” atau “batuk 100 hari” merupakan salah satu penyakit menular susukan pernapasan yang sudah diketahui adanya semenjak tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis ialah kuman gram (-) Bordetella pertussis.

Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5 tahun meskipun anak yang lebih besar dan orang cukup umur masih mungkin terinfeksi oleh B.pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau anak yang belum diimunisasi. Dahulu pertusis ialah penyakit yang sangat epidemic lantaran menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa potongan dari negara maju, menyerupai Amerika Serikat, Italia, Jerman. Namun setelah mulai digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka maut bisa ditekan hingga 10/10.000 populasi. Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pertusis dibutuhkan tidak diketemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak signifikan atau kurang.

Dengan mendiagnosa secara dini masalah pertusis, dari tanda-tanda klinis,foto roentgen, dan investigasi penunjang lainnya, dibutuhkan para klinisi bisa memperlihatkan penanganan yang sempurna dan cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menjadikan komplikasi yang lebih lanjut, menyerupai ensefalopati, Respiratory distress syndrome, dan penyakit paru-sistemik lainnya.

BAB II TINJAUAN TEORI

2.1 Pembahasan Tentang Penyakit Pertusis
A.Definisi
Pertussis artinya batuk yang intensif, merupakan penyakit nanah susukan pernafasan akut yang sanggup menyerang setiap orang yang rentan menyerupai belum dewasa yang tidak diimunisasi atau pada orang cukup umur dengan kekebalan menurun. Istilah pertussis (batuk kuat) pertama kali diperkenalkan oleh Sydenham pada tahun 1670. dimana istilah ini lebih disukai dari “batuk rejan (whooping cough)”. Selain itu sebutan untuk pertussis di Cina ialah “batuk 100 hari”.

Pertussis ialah penyakit yang serius pada belum dewasa kecil diseluruh dunia. Pada orang cukup umur juga sering terjadi karier yang asimptomatik atau nanah yang ringan. Prevalensi pertussis di seluruh dunia kini berkurang lantaran adanya imunisasi aktif.

B.Etiologi
Penyebabnya ialah Bordetella pertusis. B. pertussis ini merupakan satu-satunya penyebab pertusis endemis dan penyebab biasa pertusis sporadis, terutama lantaran insan merupaka satu-satunya host untuk spesies ini. Penyakit serupa- disebut juga a mild pertussis-like illness- juga sanggup disebabkan oleh B. parapertussis (terutama di Denmark, Republik Ceko, Republik Rusia, dan Slovakia) dan B. bronchiseptica (jarang pada insan lantaran merupakan patogen yang lazim pada binatang-kucing dan hewan pengerat-, kecuali pada insan dengan gangguan imunitas dan terpapar secara tidak biasa pada binatang). Kadang-kadang sindroma klinik berupa batuk yang usang dan tidak sembuh-sembuh sehingga susah dibedakan, juga terdapat pada nanah adenovirus (tipe 1,2,3, dan 5), Respiratory Syncitial Virus, parainfluenza virus atau influenza virus, enterovirus dan mycoplasma.

C.Epidemiologi
Pertussis ialah satu dari penyakit-penyakit yang paling menular, sanggup menjadikan “attack rate” 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta masalah pertusis setahun dengan lebih dari 500.000 meninggal. Selama masa pra-vaksin tahun 192-1948, pertusis ialah penyebab utama maut dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen ialah bayi kurang dari setahun, 75 persen ialah anak kurang dari 5 tahun.

Pertusis terutama mewabah di negara-negara berkembang dan maju, menyerupai Italian, daerah-daerah tertentu di Jerman dimana cakupan vaksin rendah atau Nova Scatia dimana digunakan vaksin yang kurang poten, dengan angka insidensi rata-rata mencapai 200-500/100.000 populasi dengan angka maut 350.000 pada anak dibawah 5 tahun.2 Di Amerika Serikat sendiri dilaporkan insidensi tertinggi 4500 masalah semenjak tahun 1967. namun setelah hal tersebut, pertusis jarang sekali kasusnya lantaran sudah lebih di galakkan vaksinasi.

Pertusis ialah endemik, dengan ditumpangin siklus endemik setiap 3-4 tahun setelah akumulasi kelompok rentan yang cukup besar. Dilaporkan sebagian masalah terjadi dari bulan Juli hingga dengan Oktober.Pertusis sangat menular dengan angka serangan 100% pada individu rentan yang terpajan pada aerosol dengan rentang yang rapat. Penyebaran terjadi melalui kontak pribadi atau melalui droplet yang ditularkan selama batuk.

Dahulu dikatakan bahwa Perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki dengan perbandingan 0.9:1 .Namun dengan laporan terbaru (Farizo, 1992) perbandingan insidensi antara wanita dan laki-laki menjadi sama hingga umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan tahun dan orang cukup umur yang terinfeksi pertusis naik secara bersama samapai 27% pada tahun 1992-1993.

Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak
yang lebih renta dan orang cukup umur lebih rentan terhadap penyakit ini jikalau terpajan. Sedangkan antibodi dari ibu secara transplasental pada anak tidaklah konsisten mencegah bayi yang gres lahir terhadap pertussis. Pertussis pada neonatus yang berat sanggup ditemukan dengan gejala-gejala pertussis normal.

D.Patogen
B. pertussis: kecil, tidak bergerak, cocobacillus gram (-). Terbaik dibiak pada “glycerin-potato-blood biar media (border-gengou)”. Organisme yang didapat umumnya tipe virulen (disebut fase I). Pasase dalam kultur sanggup merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase II, III, dan IV). Strain fase I berperan untuk penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang efektif.
Hanya B. pertussis yang mengeluarkan toksin pertusis (TP), protein virulen utama. B.pertussis juga menghasilkan beberapa materi aktif, yang banyak darinya dimaksudkan untuk memainkan tugas dalam penyakit dan imunitas. Aerosol, hemaglutinin filamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (FIM2-FIM3), dan protein permukaannonfimbria 69-kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel epitel bersilia susukan pernapasan. Sitotoksin trakea, adenilat siklase, dan TP menghambat pencucian organisme. Sitotoksin trakea, factor dermonekrotik dan adenilat siklase diterima secara lebih banyak didominasi mengakibatkan cedera epitel local yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah peresapan TP.

TP memiliki 2 sub unit, yaitu A dan B. TP (B) akan berikatan dengan reseptor pada sel taret dan mengaktivasi TP(A) pada membran sel yang merangsang pengeluaran enzim. TP akan merangsang pengeluaran Adenosin Diphosphate (ADP) sehingga akan menghipnotis fungsi dari leukosit, limfosit, myocardial sehingga bermanifestasi peradangan susukan napas dengan hyperplasia kelenjar lymph peribronchial dan meningkatkan produksi mucus yang akan menutupi permukaan silia. Yang pada alhasil bias mengarah ke komplikasi bronchopneumonia, nanah sekunder basil lain (ex: Pneumococcus, Haemophilus influenzae, S.aureus, S.pyogenes), sianosis lantaran apnea dan ventilation perfusion mismatch.

E.Patologi
1.    Organisme bermultiplikasi pada epitel yang bersilia dan menghasilkan faktor-faktor virulen  (termasuktoksin)
2.    Ada bendungan dan infiltrasi mukosa oleh sel-sel limfosit dan leukosit PMN, dan hasil hasil peradangan  dalam lumen bronki. Pada awalnya terjadi hiperplasia limfoid peribronkial. Terjadi bronkopneumonia dengan nekrosis dan deskuamasi epitel permukaan bronki.
3.    Obstruksi bronkial dan atelektasis terjadi lantaran penumpukan sekresi mukus. Dapat pula timbul bronkiektasi.
4.    Perubahan patologis juga ditemukan pada otak dan hati. Dapat ditemukan perdarahan serebral dan atrofi kortikal yang kemungkinannya lantaran adanya anoksia. Pada hati sanggup ditemukan infiltrasi lemak.

E.Manifestasi klinik
1.    Masa inkubasi pertusis rata-rata 7 hari (6-20 hari).
2.    Penyakit sanggup dibagi dalam 3 stadium: (1) kataral; (2) paroksismal; (3) konvalenses

Penyakit umumnya berlangsung selama 6-8 minggu.
1.    Manifestasi klinik tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status imunisasi. Penderita-penderita yang berumur 2 tahun. Jarang timbul panas diatas 38,4C pada semua golongan umur.
2.    Penyakit disebabkan B. parapertussis dan B. bronkiseptika lebih ringan dan juga usang sakitnya lebih pendek.
3.    Stadium kataral: 1-2 minggu

Gejala-gejala nanah susukan pernafasan potongan atas predominan rinore, “conjuctival injection”, lakrimasi, batuk ringan, panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertussis belum sanggup ditetapkan.

Stadium paroksismal : 2-4 minggu
·         Jumlah dan berat batuk bertambah. Khas, ada ulangan 5-10 batuk berpengaruh selama ekspirasi yang diikuti oleh perjuangan ide masif yang mendadak yang menjadikan “whoop” ( udara dihisap secara berpengaruh melalui glotis yang sempit).
·         Mukanya merah atau sianosis, mata menonjol, pengecap menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher selama serangan.
·         Episode batuk-batuk yang paroksimal sanggup terjadi lagi hingga obstruksi “mucous plug” pada susukan nafas menghilang.
·         Pada stadium paroksismal sanggup terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan konjungtiva.
·         Emesis setelah batuk dengan paroksimal ialah cukup khas sehingga anak dicurigai menderita pertussis walaupun tidak ada “whoop”.
·         Anak tampak apatis dan berat tubuh menurun.
·         Serangan-serangan sanggup dirangsang dengan menguap, bersin, makan, minum, acara fisik atau malahan sugesti. Diantara serangan penderita tampak sakit minimal dan lebih enak.
·         “Whoop” sanggup tidak ditemukan pada beberapa penderita terutama bayi-bayi muda.

Stadium Konvalesens : 1-2 minggu
·         Episode paroksimal batuk dan muntah bertahap menurun dalam frekuensi dan beratnya.
·         Batuk sanggup menetap untuk beberapa bulan.
·         Pemeriksaan fisik umumnya tidak informatif.
·         Pada stadium paroksismal sanggup terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan konjungtiva.
·         Pada beberapa penderita terjadi ronki difus.

F.Diagnosis dan Diagnosis banding
·         Pertusis sanggup didiagnosis selama stadium paroksismal. Sukar pada bayi-bayi yang sangat muda,adolesens,dan pada orang cukup umur oleh lantaran memiliki manifestasi yang atipis.
·         Riwayat kontak dengan kasus-kasus pertusis sangatlah menolong, tetapi umumnya riwayat ini negatif pada          populasi yang telah banyak mendapat imunisasi.
·         Batuk lebih dari 2 ahad dengan emesis setelah batuk memiliki nilai diagnostik yang penting.
·         Leukositosis (20.000-50.000/mm³ darah) dengan limfositosis diktatorial khas, pada bayi-bayi jumlah leukosit   tidak sanggup menolong untuk diagnosis, oleh lantaran respon limfositosis terdapat pula pada banyak infeksi.
·         Foto toraks sanggup memperlihatkan infiltrat perihiler, atelaktasis atau empiema.
·         Diagnostik spesifik tergantung dari didapatkannya organisme, terbaik diperiksa selama fase awalpenyakit dengan melaksanakan apus nasofaring yang dibiak pada media Bordet-Gengou. “Direct flourescent antibody staining” dari spesimen faring sanggup membedakan diagnosis spesifik secara tepat.
·         Diagnosis serologis sanggup dilakukan dengan penentuan antibodi toksin pertussis dari sepasang serum.
·         ELISA sanggup digunakan untuk memilih IgM, IgG, dan IgA serum terhadap “filamentous hemoaglutinin (FHA)” dan toksin pertussis (TP). nilai IgM-FHA dan IgM-TP serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh lantaran menggambarkan respon imun primer dan sanggup disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG pribadi terhadap toksin pertussis merupakan test yang paling sensitif dan spesifik untuk nanah akut. IgA-FHA dan IgA-TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik untuk nanah natural dan tidak terlihat setelah imunisasi pertussis. 4,5
·         Tidak ada test tunggal berlaku dikala ini yang sangat sensitif dan sangat spesifik untuk memilih nanah B. pertussis selama semua fase penyakit.
·         Kultur paling aktual pada fase kataral dan awal paroksimal dan seharusnya dilakukan pada semua masalah yang tersangka. Test serologis berkhasiat pada stadium lanjut penyakit dan untuk memilih adanya nanah pada individu dengan kultur negatif.

G.Komplikasi
·         Terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat. Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada 90% maut pada belum dewasa < style="">B.Pertussis   sendiri tetapi lebih sering lantaran bakteria sekunder (H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes).
·         TBC laten sanggup juga di aktifer.
·         Atelektasis sanggup timbul sekunder oleh lantaran ada sumbatan mukus yang kental. Aspirasi mukus atau muntah sanggup menjadikan pneumonia.
·         Panas tinggi sering pertanda adanya nanah sekunder oleh bakteria.
·         Batuk dengan tekanan tinggi sanggup menjadikan ruptur alveoli, empisema interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia sanggup timbul dan menetap.
·         Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia. Perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial, ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, kehilangan cairan tubuh dan gangguan nutrisi.
·         Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral (asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang kala kejang sanggup disebabkan oleh temperatur tinggi.
·         Kejang-kejang oleh lantaran hiponatremia yang sekunder terhadap “syndrome of   inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH)”.

Alat pernapasan
Dapat terjadi otitis media “sering pada bayi”, bronchitis, bronkopneumonia, atelektasis yang disebabkan sumbatan mucus, emfisema “dapat juga terjadi emfisema mediastinum, leher, kulit pada masalah yang berat”, bronkiektasis, sedangkan tuberculosis yang sebelumnya telah ada sanggup menjadi bertambah berat, batuk yang keras sanggup mengakibatkan rupture alveoli, emfisema intestisial, pnemutorak.

Alat pencernaan
Muntah muntah yang berat sanggup menjadikan emasiasi, prolapsus rectum atau hernia yang mungkin timbul lantaran tingginya tekanan intra abdominal, ulcus pada ujung pengecap lantaran pengecap tergosok pada gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk, stomatitis.

Susunan saraf pusat
Kejang sanggup timbul lantaran gangguan keseimbangan elektrolit jawaban muntah muntah. Kadang kadang terdapat kongesti dan edema otak, mungkin pula terjadi perdarahan otak, koma, ensefalitis, hiponatremi.

Lain lain Dapat pula terjadi perdarahan lain menyerupai epistaksis, hemoptisis dan perdarahan subkonjungtiva

2.2  Terapi,Pencegahan dan Pengobatan
A.Terapi
·         Antibiotika: 1.Eritromisin dengan takaran 50 mg/kgbb/hari dibagi dalam 4 dosis. Obat ini sanggup menghilangkan Bordetella pertusis dari nasofaring dalam 2-7 hari ( rata rata 3-4 hari) dengan demikian memperpendek kemungkinan penyebaran infeksi. Eritromisisn juga menyembuhkan pertusis bila diberikan dalam stadium kataralis, mencegah dan menyembuhkan pneumonia, oleh lantaran itu sangat penting untuk pengobatan pertusis untuk bayi muda. 2. Ampisilin dengan takaran 100 mg/kgbb/hari, dibagi dalam 4 dosis. 3. lain lain : rovamisin, kotromoksazol, kloramfenikol dan tetrasiklin.
·         Imunoglobulin Belum ada pembiasaan faham mengenai tunjangan immunoglobulin pada stadium kataralis.
·         Ekspektoransia dan mukolitik
·         Kodein diberikan bila terdapat batuk batuk yang andal sekali.
·         Luminal sebagai sedative.
·         Oksigen bila terjadi distress pernapasan baik akut maupun kronik.
·         Terapi suportif : atasi dehidrasi, berikan nutrisi
·         Betameatsol dan salbutamol untuk mencegah obstruksi bronkus, mengurangi batuk paroksimal, mengurangi  lama whoop.

B.Pencegahan
·         Imunisasi aktif:   Dosis total 12 unit protektif vaksin pertussis dalam 3 takaran yang seimbang dengan jarak 8 minggu.   Imunisasi dilakukan dengan menyediakan toksoid pertussis, difteria dan tetanus (kombinasi).
·         Jika pertusis bersifat prevalen dalam masyarakat, imunisasi sanggup dimulai pada waktu berumur 2 ahad dengan jarak 4 minggu.
·         Anak-anak berumu > 7 tahun : tidak rutin diimunisasi. Imunitas tidak permanen oleh lantaran menurunnya perlindungan selama adolesens ; nanah pada penderita besar biasanya ringan tetapi berperansebagai sumber nanah B.pertussis pada bayi-bayi non imun. Vaksin pertusis monovalen (0.25 ml,i.m) telah digunakan untuk mengontrol epidemi diantara orang cukup umur yang terpapar.
·         Efek samping setelah imunisasi pertussis termasuk manifestasi umum menyerupai eritema, indurasi, dan rasa sakit pada tempat suntikan , dan sering terjadi panas, mengantuk, dan jarang terjadi kejang, kolaps, hipotonik, hiporesponsif, ensefalopati, anafilaksis. Resiko terjadinya kejang demam sanggup dikurangi dengan tunjangan asetaminofen (15mg/kg BB, per oral) pada dikala imunisasi dan setiap 4-6 jam untuk selama 48-72 jam.
·         Imunisasi pertama pertussis ditunda atau dihilangkan : Penyakit panas, kelainan neurologis yang progresif atau perubahan neurologis, riwayat kejang dll. Riwayat keluarga adanya kejang, “sudden infant death syndrome (SIDS)” atau reaksi berat terhadap imunisasi pertussis bukanlah kontra indikasi untuk imunisasi pertussis.  Kontra indikasi untuk tunjangan vaksin pertussis berikutnya termasuk ensefalopati dalam 7 hari sebelum imunisasi, kejang demam atau kejang tanpa demam dalam 3 hari sebelum imunisasi, menangis  3 jam, “high picth cry” dalam 2 hari, kolaps atau hipotonik/hiporesponsif dalam 2 hari, suhu yang tidak sanggup diterangkan  40.5 C dalam 2 hari, atau timbul anafilaksis.
·         kontak, Eritromisin efektif untuk pencegahan pertussis pada bayi-bayi gres lahir dan ibu-ibu dengan pertussis. Eritromisin : 50 mg/kg BB/hari dibagi dalam 4 dosis, peroral selama 14 hari. Anak yang berumur > 7 tahun yang telah mendapat imunisasi juga diberikan eritromisin profilaksis. Pengobatan eritromisin awal akan mengurangi penyebaran nanah eliminasi B. pertussis dari susukan pernafasan, dan mengurangi gejala-gejala penyakit.
·         Orang-orang yang kontak dengan penderita pertussis yang belum mendapat imunisasi sebelumnya, diberikan eritromisin selama 14 hari setelah kontak diputuskan. Jika ada kontak tidak sanggup diputuskan, eritromisin diberikan hingga batuk penderita berhenti atau mendapat eritromisin selama 7 hari. Vaksin pertussis monovalen dan eritromisin diberikan pada waktu terjadi epidemi.

C.Pengobatan
·         Eritromisin : 50 mg/kg BB/hari selama 114 hari sanggup mengeliminasi organisme pertussis dari nasofaring     dalam 3-4 hari. Eritromisin biasanya tidak memperbaiki gejala-gejala jikalau diberikan terlambat.
·         Suportif : terutama menghindarkan faktor-faktor yang menjadikan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi
·         Oksigen diberikan pada distres pernapasan akut/kronik.
·         Penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan.
·         Betametason dan salbutamol (albuterol) sanggup mengurangi batuk paroksismal yang berat walaupun kegunaannya belum dibuktikan melalui penelitian kontrol.
·         Penekan batuk (“suppressants”) tidak menolong.

D.Prognosis
·         Angka maut telah menurun menjadi <10>
·         Kebanyakan maut disebabkan oleh ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi paru-paru lain.
·         Sekuele pernapasan yang usang setelah nanah pertussis tidak pasti. Umumnya bayi-bayi yang berumur

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pertusis merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang susukan pernapasan potongan atas, disebabkan terutama oleh Bordetella pertussis. Pertusis ditandai dengan batuk usang dan kadang kala terdengar menyerupai menggonggong (whooping cough) dan episode diakhir dengan ekspulsi dari secret trakea,silia lepas dan epitel nekrotik.

Pertusis sering menyerang bayi dan belum dewasa kurang dari 5 tahun, terutama yang belum diimunisasi lebih rentan, demikian juga dengan anak lebih dari 12 tahun dan orang dewasa.
Stadium penyakit pertusis mencakup 3 stadium yaitu kataral, paroxsismal, dan konvalesen. Masing2 berlangsung selama 2 minggu. Pada bayi, tanda-tanda menjadi lebih terang justru pda stadium konvalesen. Sedangkan pada orang cukup umur mencapai puncaknya pada stadium paroxsismal.

Diagnosa pertusis dengan tanda-tanda klinis memuncak pada stadium paroksismal, riwayat kontak dengan penderita pertusis, kultur apus nasofaring, ELISA, foto thorax.
Terapi yang sanggup diberikan antibiotic eritromisin 50mg/kgB/hari dibagi 4 takaran selama 14 hari, dan suportif.

Prognosis baik dengan penatalaksanaan yang sempurna dan cepat. Kematian biasanya terjadi lantaran ensefalopati dan pneumonia atau komplikasi penyakit paru yang lainnya.

3.2 Saran
Sebagai tenaga kesehatan harus melaksanakan deteksi komplikasi penyakit pertusis dan terjadinya penularan/penyebab terjadinya penyakit menular pertusis,agar sanggup mengurangi angka maut penderita penyakit pertusis.Dan biar tidak menambah luas penyakit menular pertusis.

 REFERENSI
1.    http://www.penyebab dan tanda-tanda penyakit pertusis
2.    http://www.pertusis.com
3.    http://www.epidemiologiunsri.blogspot.com

Sumber https://dr-suparyanto.blogspot.com/
ADSENSE 336 x 280 dan ADSENSE Link Ads 200 x 90

0 Response to "Sekilas Perihal Pertusis"

Posting Komentar