Konsep Model Hildegard Peplau

ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Dr. Suparyanto, M.Kes


KONSEP MODEL HILDEGARD PEPLAU

Menurut Peplau, keperawatan ialah terapeutik yaitu satu seni menyembuhkan, menolong individu yang sakit, atau membutuhkan pelayanan kesehatan. Keperawatan sanggup dipandang sebagai satu proses interpersonal lantaran melibatkan interaksi antara dua atau lebih individu dengan tujuan yang sama. Peplau memandang keperawatan sebagai  kekuatan yang matang dan instrumen yang mendidik. Peplau percaya bahwa keperawatan ialah hasil pengalaman berguru mengenai diri sendiri dan orang lain yang terlibat dalam hubungan interpersonal - terapeutik.

Konsep ini didukung oleh Genevieve Burton (1950) penulis lain wacana keperawatan mengatakan, tingkahlaku orang lain harus dimengerti semoga sanggup mengerti diri sendiri secara jelas. Orang-orang yang tersentuh dengan diri sendiri akan lebih sadar terhadap banyak sekali ragam jenis reaksi bujukan individu yang lain. Peplau mengembangankan modelnya dengan memerinci konsep struktural dari proses antar personal disinilah letak fase hubungan perawat-klien (nurse patient reaetionship).

1. Hubungan terapeutik berdasarkan Hildegard Peplau
Hubungan terapeutik berbeda dari hubungan sosial atau hubungan intim dalam banyak hal lantaran hubungan terapeutik berfokus pada kebutuhan pengalaman, perasaan, dan inspirasi klien. Dalam hubungan ini, area kerja disepakati dan hasil selesai dievaluasi secara berkesinambungan. Perawat mengunakan ketrampilan komunikasi, kekuatan personal, dan pemahaman sikap insan untuk interaksi dengan klien. Dalam hubunngan terapeutik terperinci parameternya ialah berfokus pada kebutuhan klien bukan kebutuhan perawat. Perawat tidak perlu khawatir apakah klien menyukai atau bahkan berterima kasih kepada perawat. Hal ini merupakan tanda bahwa perawat berfokus pada kebutuhan untuk disukai atau dibutuhkan. Perawat harus berusaha semoga hubungan terapeutik tidak bermetamorfosis hubungan yang lebih sosial. Perawat harus secara konstan berfokus pada kebutuhan klien, bukan kebutuhan dirinya sendiri.

Tingkat kesadaran perawat bisa menguntungkan atau merugikan hubungan terapeutik, contohnya jikalau perawat merasa gugup dengan klien. Hubungan tersebut lebih bersifat sosial lantaran hubungan yang bersifat superfisial lebih aman. Apabila perawat menyadari ketakutannya, kekuatan itu sanggup didiskusikan dan dihilangkan dengan proteksi pembimbing perawat tersebut. Hal ini membantu terbinanya hubungan yang lebih terapeutik  ( Sheila L Videbeck, 2008). Peplau menjelaskan wacana empat fase hubungan terapeutik yang saling berkaitan yaitu, orientasi, identifikasi, eksploitasi,  dan resolusi. Setiap fase diharapkan tugas yang berbeda sesuai dengan kebutuhan klien (Asmadi, 2005)

2. Fase hubungan terapeutik berdasarkan Hildegard Peplau
a. Orientasi
Pada fase awal, orientasi perawat dan klien bertindak sebagai dua individu yang belum mengenal. Selama fase orientasi, klien merupakan seseorang yang memerlukan proteksi professional dan perawat berperan membantu klien mengenali dan memahami masalahnya serta menetukan apa yang klien perlukan ketika itu.

Namun kebutuhan ini tidak sanggup dengan gampang diidentifikasi atau dipahami oleh individu-individu yang terlibat. Ini sangat penting bahwa perawat bekerja sama dengan pasien dan keluarga dalam menganalisis situasi sehingga mereka bahu-membahu sanggup mengenali, memperjelas, dan mendefinisikan masalah yang ada.

Dengan saling menjelaskan dan mendefinisikan masalah dalam fase orientasi, pasien sanggup mengarahkan energi yang terakumulasi dari kecemasan kebutuhan yang tidak terpenuhi untuk lebih konstruktif berhadapan dengan masalah yang diajukan. Hubungan didirikan dan terus diperkuat sementara kekhawatiran sedang diidentifikasi.
Saat pasien dan keluarga berbicara dengan perawat keputusan bersama perlu dibentuk wacana jenis layanan professional apa yang harus digunakan.

Perawat sebagai narasumber, sanggup bekerja dengan pasien dan keluarga. Sebagai alternatif perawat menciptakan janji bersama dari semua pihak yang terlibat lihat keluarga sebagai sumber lain ibarat psikolog, psikiater, atau pekerja sosial. Pada tahap orientasi perawat, pasien, dan keluarga merencanakan apa jenis layanan yang dibutuhkan.

Fase orientasi secara pribadi dipengaruhi oleh sikap pasien dan perawat wacana memberi atau mendapatkan bantuan. Oleh lantaran itu, dalam tahap awal perawat perlu menyadari reaksi diri kepada pasien. Perawatan ialah proses interpersonal, baik pasien dan perawat mempunyai serpihan yang sama penting dalam interaksi terapeutik.

Hal ini sanggup mengurangi ketegangan dan kecemasan terkait dengan kebutuhan yang dirasakan dan rasa takut yang tidak diketahui. Penurunan ketegangan dan kecemasan mencegah masalah lain yang timbul sebagai jawaban dari depresi. Situasi stres diidentifikasi melalui interaksi terapeutik. Sangat penting bahwa pasien mengenali dan mulai bekerja melalui apa yang dirasakan terkait dengan penyebab penyakitnya.

Pada selesai fase orientasi perawat dan klien  bersama-sama mengidentifikasi adanya serta menumbuhkan rasa saling percaya sehingga keduannya siap untuk melangkah ke fase berikutnya ( Asmadi, 2005).

1. Hal hal yang perlu diperhatikan dalam fase orientasi
a). Kontrak perawat – klien
Walaupun banyak klien mempunyai pengalaman sebelumnya di sistem kesehatan jiwa, penting bagi perawat untuk sekali lagi menjelaskan tanggung jawab perawat dan klien. Tangung jawab ini pada awalnya harus disepakati dalam kontrak informal atau verbal. Apabila kontrak tertulis diharapkan klien dimasa kemudian atau jikalau klien lupa kontrak ekspresi yang telah disepakati, kontrak tertulis mungkin sempurna dilakukan. Kontrak tersebut harus berisi :
1)    Waktu, tempat, dan usang sesi pertemuan.
2)    Kapan sesi pertemuan berakhir.
3)    Siapa yang terlibat dalam planning terapi.
4)    Tangung jawab klien (tiba sempurna waktu, selesai sempurna waktu).
5)    Tangung jawab perawat (tiba sempurna waktu, selesai sempurna waktu, menjaga kerahasiaan setiap waktu, mengevaluasi kemajuan klien,dan mendokumentasikan sesi pertemuan).

b). Kerahasiaan
Klien remaja sanggup memutuskan anggota keluarga yang sanggup dilibatkan dalam terapi dan sanggup mempunyai susukan informasi klinis jikalau ada. Idealnya, individu yang bersahabat dengan klien dan bertangung jawab untuk perawatan klien yang dilibatkan. Akan tetapi, klien memutuskan siapa yang akan dilibatkan, semoga klien merasa kondusif dan batasan harus jelas.

Informasi wacana siapa yang mempunyai susukan ke data pengkajian klien dan penilaian kemajuan klien harus disampaikan kepada klien dengan jelas. Klien harus diberitahu bahwa tim kesehatan jiwa saling menyebarkan informasi yang sempurna untuk memberi perawatan yang konsisten  dan anggota keluarga sanggup diberitahu hanya jikalau klien mengizinkan.

b. Identifikasi
Pada fase ini klien  memberikan respon atau mengidentifikasi  persoalan yang dihadapi bersama orang yang dianggap memahami masalahnya. Respon setiap klien berbeda satu sama lain. Disini perawat melaksanakan eksploitasi perasaan dan membantu klien menghadapi masalah yang dirasakan sebagai pengalaman yang mengorietasi ulang masalahnya dan menguatkan kekuatan faktual pada pribadi klien serta memberi kepuasan yang diharapkan .

Selama fase identifikasi,  klien diharapkan mulai  memiliki perasaan terlibat dan mulai mempunyai kemampuan untuk mengatasi masalah dengan mengurangi rasa tidak berdaya dan putus asa. Upaya ini akan menciptakan sikap faktual kepada diri klien guna melaju ke fase selanjutnya. 

Bagian pengalaman dari klien dan perawat akan mempunyai titik tengah apa keinginan mereka selama proses interpersonal. Seperti disebutkan dalam fase orientasi, sikap awal dari pasien dan perawat sangat penting dalam membangun hubungan kerja untuk mengidentifikasi masalah dan memutuskan proteksi yang tepat. Persepsi dan keinginan klien dan perawat dalam fase identifikasi lebih kompleks dari pada fase sebelumnya.

c. Eksploitasi
Pada fase ini, perawat memberi layanan keperawatan berdasarkan  kebutuhan klien. Disini, masing-masing pihak mulai merasa menjadi serpihan integral dari proses interpersonal. Selama fase eksploitasi klien mengambil secara penuh nilai yang ditawarkan kepadanya melalui sebuah hubungan (Asmadi, 2005). Fase ini merupakan inti hubungan dalam proses interpersonal. Dalam fase ini perawat membantu klien dalam menunjukkan citra kondisi klien dan seluruh aspek yang terlibat didalamnya.

Prinsip tidakan pada fase ini ialah eksploitasi atau menggali, memahami keadaan klien, dan  mencegah meluasnya masalah. Perawat mendorong klien untuk menggali dan mengungkapkan perasaan, emosi, pikiran serta sikapnya tanpa paksaan dan mempertahankan suasana terapeutik yang mendukung. Melalui penentuan nasib sendiri, pasien semakin mengembangkan tanggung jawab untuk dirinya sendiri. Kepercayaan pada potensi, dan pembiasaan menuju kemandirian dan kemerdekaan. Pasien-pasien ini realistis mulai membangun tujuan mereka sendiri terhadap status kesehatan.

Mereka berjuang untuk mencapai teladan atau arah hidup mereka kepada kesehatan. Hal ini dicapai dengan menjadi produktif, dengan percaya dan tergantung pada kemampuan mereka sendiri. Akibatnya, kepribadian mereka terus terbentuk, mereka mengembangkan sumber-sumber kekuatan batin yang menghadapi masalah gres atau tantangan. Klien mungkin dalam tugas dependen sementara kebutuhan simultan untuk kemerdekaan. Ada banyak sekali penyebab sanggup memicu timbulnya ketidakseimbangan psikologis ini. Klien akan terombang-ambing dan akan muncul perasaan galau dan cemas. Dalam merawat pasien yang berfluktuasi antara ketergantungan dan kemandirian, perawat harus terlibat dengan sikap tertentu untuk menangani masalah inkonsistensi komposit.

Pada fase ini, perawat juga dituntut menguasai keterampilan berkomunikasi secara terapeutik. Dengan demikian, sanggup dikatakan bahwa fase eksploitasi merupakan fase pemberian proteksi kepada klien sebagai langkah pemecahan masalah. Jika fase ini berhasil, proses interpersonal akan berlanjut ke fase akhir, yaitu fase resolusi.
a). Tugas khusus perawat dalam fase ekspoitasi
1)    Mempertahankan hubungan
2)    Mengumpulkan lebih banyak data
3)    Mengekspoitasi persepsi realitas
4)    Mengembangkan prosedur koping positif
5)    Meningkatkan persepsi diri positif
6)    Mendorong verbalisasi perasaaan
7)    Memfasilitasi perubahan perilaku
8)    Mengatasi resistens
9)    Mengevaluasi kemajuan dan mendefinisikan kembali tujuan jikalau tepat
10) Memberi kesempatan klien untuk mempraktikkan sikap baru
11) Meningkatkan kemandirian (Sheila L Videbeck, 2008).

d. Resolusi
Pada fase resolusi, tujuan bersama antara perawat dan klien sudah hingga pada tahap selesai dan keduanya siap mengakhiri hubungan terapeutik yang selama ini terjalin. Fase resolusi terkadang menjadi fase yang sulit bagi kedua belah pihak lantaran disini sanggup terjadi peningkatan kecemasan dan ketegangan jikalau ada hal-hal yang belum terselesaikan pada masing-masing fase. Indikator keberhasilan untuk fase ini  adalah  jika klien sudah bisa berdikari dan lepas dari proteksi perawat. Selanjutnya, baik perawat maupun klien akan menjadi individu yang matang dan lebih berpengalaman (Asmadi, 2005).


DAFTAR PUSTAKA

1.    Arikunto, Suharsimi, 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta : Jakarta.
2.    Asmadi, 2008.  Konsep Dasar Keperawatan. EGC : Jakarta.
3.    Carpeniti, L,J, 2009. Buku Saku Diagnosa Keperawata. EGC : Jakarta.
4.    Gail W, Stuart, 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa,  Edisi 5. EGC : Jakarta.
5.    Gazalba, Sidi. 2007. Pengantar Sejarah sebagai Ilmu. Bhatara  : Jakarta.
6.    Haryanto, 2007. Konsep Dasar Keperawatan dengan Pemetaaan Konsep              (Concept Mapping). Salemba Medika : Jakarta.
7.    Herdman, T. Helther, 2009. NANDA International Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009-2011. EGC : Jakarta.
8.    Hidayat, A.Alimul Aziz, 2006.  Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Salemba Medika : Jakarta.
9.    Irawati, Dewi, 2011. Kualitas perawat di Indonesia buruk.                                                                         http://www.wartakotalive.com/mobile/detil/70944. Diakses 12 April 2012.   
10. Keliat, Budi Anna, 2011. Manajemen Keperawatan Psikososial & Kader Kesehatan Jiwa CMHN ( Intermediate Course ). EGC : Jakarta.
11. Keliat, Budi Anna, 2011.  Manajemen Kasus Gangguan Jiwa CMHN                      ( Intermediate Course). EGC : Jakarta.
12. Keliat, Budi Anna, 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, edisi 2. EGC : Jakarta.
13. Nettina, Sandra M, 2002. Pedoman Praktik Keperawatan. EGC : Jakarta.
14. Notoatmodjo, Soekidjo, 2007. Promosi Kesehatan & Ilmu Perilaku. Rineka Cipta : Jakarta.
15. Notoatmodjo, Soekidjo, 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta : Jakarta.
16. Nursalam, 2009. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Salemba Medika : Jakarta.
17. Potter, Perry, 2011. Fundamental Keperawatan,  Edisi . EGC : Jakarta.
18. Riyadi, Sujono dan Riyadi, Teguh, 2009.  Asuhan Keperawatan Jiwa. Graha Ilmu : Jakarta.
19. Riyanto, Agus, 2010. Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan. Nuha Offset : Yogjakarta.
20. Santosa, Singgih, 2012. Aplikasi SPSS pada Statistik Non Parametrik. PT Elex Media Komputindo : Jakarta.
21. Soesanto, Wibisono, 2009. Biostatistik Penelitian Kesehatan (spss 16 for windows). Perc. Duatujuh : Surabaya.
22. Surajiyo, 2006. Dasar Dasar Logika. Bumi Aksara : Jakarta.
23. Videbeck, Sheila L, 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. EGC : Jakarta.
24. Wiracahyo, 2011, Rata-rata 1000 orang di JATIM sakit jiwa. http://jurnalkebidananku.blogspot.com//search?q=rata-rata-1000-orang-di-jatim-sakit. Diakses 12 April 2012.



Sumber https://dr-suparyanto.blogspot.com/
ADSENSE 336 x 280 dan ADSENSE Link Ads 200 x 90

0 Response to "Konsep Model Hildegard Peplau"

Posting Komentar