Faktor Resiko Penyakit Ispa

ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Dr. Suparyanto, M.Kes
 

FAKTOR RESIKO PENYAKIT ISPA
1.    Faktor Resiko ISPA
Menurut Nastiti, (2008). Terdapat banyak faktor yang mendasari perjalanan penyakit ISPA pada anak. Hal ini bekerjasama dengan host, agent penyakit dan environment. Faktor-faktor yang sanggup mengakibatkan kejadian ISPA antara lain :
1.                   Ventilasi Rumah
Ventilasi yaitu proses penyediaan udara segar dan pengeluaran udara kotor secara alamiah atau mekanis (Keman, 2004). Ventilasi disamping berfungsi sebagai lubang pertukaran udara juga sanggup berfungsi sebagai lubang masuknya cahaya alami atau matahari ke dalam ruangan. Kurangnya udara segar yang masuk ke dalam ruangan dan kelembaban yang tinggi sanggup mengakibatkan peningkatan resiko kejadian ISPA. Adanya pemasangan ventilasi rumah merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA (Nindya dan Sulistyorini, 2005). Ventilasi merupakan determinan dari kejadian ISPA pada anak balita. Adapun besarnya risiko untuk terjadinya ISPA pada anak balita yang menempati rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat sebesar 2,789 kali lebih besar dari pada anak balita yang menempati rumah dengan ventilasi yang memenuhi syarat (Chandra, 2007).
2.         Kepadatan Hunian
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di dalamnya. Artinya, luas lantai bangunan rumah tersebut harus diubahsuaikan dengan jumlah penghuninya supaya tidak mengakibatkan overload . Hal ini tidak sehat alasannya yaitu disamping  menyebabkan kurangnya oksigen juga kalau salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan gampang menular kepada anggota keluarga yang lain. Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif bergantung dari kualitas bangunan dan kemudahan yang tersedia. Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk kamar tidur diharapkan luas lantai minimum 3 m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan jarak antara tepi daerah tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan anak di bawah 2 tahun (Yusuf, 2008).
3.            Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya yang cukup pada siang hari, diharapkan luas jendela minimum 20% luas lantai. Cahaya ini sangat penting alasannya yaitu sanggup membunuh kuman patogen di dalam rumah misanya, basil TB. Oleh alasannya yaitu itu, rumah yang sehat harus mempunyai susukan cahaya yang cukup. Intensitas pencahayaan minimum yang diharapkan 10 kali lilin atau kurang lebih 60 lux. Semua jenis cahaya sanggup mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya. Cahaya yang sama apabila dipancarkan melalui beling tidak berwarna sanggup membunuh kuman  dalam waktu yang lebih cepat dibandingkan dengan beling berwarna (Suryo, 2010).
4.            Kebiasaan merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dalam meningkatkan resiko untuk terkena penyakit kanker paru-paru, jantung koroner dan bronkitis kronis. Dalam satu batang rokok yang dihisap akan dikeluarkan sekitar  4.000 materi kimia berbahaya, di antaranya yang paling berbahaya yaitu Nikotin, Tar, dan Carbon Monoksida (CO). Asap rokok merupakan zat iritan yang sanggup mengakibatkan jerawat pada saluran pernapasan. Asap rokok mengandung ribuan materi kimia beracun dan bahan-bahan yang sanggup menimbulkan kanker (karsinogen). Bahkan materi berbahaya dan racun dalam rokok tidak hanya menjadikan gangguan kesehatan pada orang yang merokok, namun juga kepada orang-orang di sekitarnya yang tidak merokok yang sebagian besar yaitu bayi, bawah umur dan ibu-ibu yang terpaksa menjadi perokok pasif oleh alasannya yaitu ayah atau suami mereka merokok di rumah. Kebiasaan merokok di dalam rumah sanggup meningkatkan resiko terjadinya ISPA sebanyak 2,2 kali (Suryo, 2010).
5.            Berat tubuh lahir rendah (BBLR)
Berat tubuh lahir mempunyai tugas penting terhadap kematian akhir ISPA. Di negara berkembang, kematian akhir pneumonia bekerjasama dengan BBLR. Sebanyak 22% kematian pada pneumonia di perkirakan terjadi pada BBLR. Meta-analisis mengatakan bahwa BBLR mempunyai RR kematian 6,4 pada bayi yang berusia di bawah 6 bulan, dan 2,9 pada bayi berusia 6-11 bulan.
6.             Imunisasi
BCampak, pertusis dan beberapa penyakit lain sanggup meningkatkan resiko terkena ISPA dan memperberat ISPA itu sendiri, tetapi bekerjsama hal ini sanggup di cegah. Di india, anak yang gres sembuh dari campak, selama 6 bulan berikutnya sanggup mengalami ISPA enam kali lebih sering dari pada anak yang tidak terkena campak. Campak, pertusis, dan difteri gotong royong sanggup mengakibatkan 15-25% dari seluruh kematian yang berkaitan dengan ISPA. Vaksin campak cukup efektif dan sanggup mencegah kematian sampai 25% perjuangan global dalam meningkatkan cakupan imunisasi campak dan pertusis telah mengurangi angka kematian ISPA akhir kedua penyakit ini.
            Vaksin pneomokokus dan H. Influenzae  type B ketika ini sudah di berikan pada anak anak dengan efektivitas yang cukup baik.
7.            Status gizi
Status gizi anak merupakan faktor resiko penting timbulnya pneumonia. Gizi jelek merupakan faktor predisposisi terjadinya ISPA pada anak. Hal ini di karenakan adanya gangguan respon imun. Vitamin A sangat bekerjasama dengan beratnya infeksi. Grant melaporkan bahwa anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan mengalami ISPA dua kali lebih banyak daripada anak yang tidak mengalami defisiensi vitamin A. Oleh alasannya yaitu itu, selain perbaikan gizi dan perbaikan ASI, harus di lakukan pula perbaikan terhadap defisiensi vitamin A untuk mencegah ISPA.

DAFTAR PUSTAKA
1.    Almasri (2011). Mycoplasma Pneumoniae Respiratory Tract Infections Among Greek Children. Hippokratia : 147–152.
2.    Arikunto, Suharsimin  (2002). Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta.

3.    Aziz, Hidayat (2010). Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitatif. Surabaya : Health Books Publishing.

4.    Calvo C. (2007).  Role of rhinovirus in hospitalized infants with respiratory tract infections in Spain. Pediatric Infection Dis J; 26: 904-8.

5.    Cartamil S. (2008). Estudio de dos nuevos virus respiratorios en poblacion pediatrica con infeccion respiratoria aguda: el metapneumovirus (hMPV)y el bocavirus (hBoV). Revista Argentina Microbiologia; 40 Supl: 78.

6.    Chandra Budiman, (2007). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

7.    Chandra Budiman, (2009). Ilmu Kedokteran Pencegahan dan Komunitas. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

8.    Corwin, Elizabeth (2008). Buku Saku Patofisiologi, ed. 3. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

9.    Debora N. (2012). Rhinovirus detection by real-time RT-PCR in children with acute respiratory infection in Buenos Aires, Argentina. Revista Argentina de Microbiologia; 44: 259-265

10. Depkes RI. (2000). Informasi wacana ISPA pada Balita. Jakarta: Pusat Kesehatan Masyarakat Depkes RI.

11. Depkes RI. (2004). Pedoman Program Pemberantasan Peneumonia Pada Balita. Jakarta : Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan, Pemukiman.

12. Depkes RI. (2012). Buletin Jendela Epidemiologi Pneumonia Balita. Jakarta : Depkes RI.

13. Dinkes Kab. Jombang. (2010). Kondisi Geografis Kecamatan Mancar Tahun 2010. Jombang : Bidang Yankesmas Dinas Kesehatan Kabupaten Jombang.

14. Djaja S, dan Afifah T. (2001). Determinan Prilaku Pencarian Pengobatan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita. Buletin Penelitian Kesehatan. 29:1-10.

15. Erlien (2008). Penyakit Saluran Pernapasan. Jakarta : Sunda Kelapa Pustaka.

16. Kartasasmita CB. (2010). Morbiditas dan Faktor Risiko ISPA pada Balita di Indonesia. Majalah Kedokteran Jakarta. 25:135-142.

17. Keman S. (2004). Pengaruh Lingkungan Terhadap Kesehatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 1: 30-43.

18. Narbuko, Cholid (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Bumi Aksara

19. Nastiti Rahajoe, dkk. (2008). Buku Ajar Respirologi. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.

20. Nindya TS dan Sulistyorini L. (2005). Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Anak Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan. 2:43-52.

21. Notoadmodjo, Soekidjo (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

22. Notoadmodjo, Soekidjo (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.

23. Nursalam (2003). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

24. Nursalam (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrument Penelitian Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika.

25. Nursalam dan Siti pariani (2008). Pendekatan Riset Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

26. Ranuh IGN. (1997). Masalah ISPA dan Kelangsungan Hidup Anak. Surabaya: Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak.

27. Saryono (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Yogyakarta : Mitra Cendikia.

28. Savolainen C. (2003). Human rhinoviruses.  Pediatric Respiratory. Rev 2003; 4: 91-8.

29. Setiadi (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta : Graha Ilmu.

30. Sugiono (2000). Statistika Untuk Penelitian. Bandung : Alfabet.

31. Sugiyono (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung :  Alfabeta.

32. Suryo, Joko (2010). Herbal Penyembuh Gangguan Sistem Pernafasan. Yogyakarta :  PT Bentang Pustaka.

33. Sylvia, Price A. (2005). Patofisiologi : Konsep Klinis proses – proses Penyakit ; Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

34.  Tambayong Jan (1999). Patofisiologi Untuk Keperawatan. Jakarta : Penerbit buku Kedokteran EGC.

35. Wasis (2008). Pedoman Riset Mudah untuk Profesi Perawat. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran EGC.

36. Yusuf NA dan Sulistyorini L. (2008). Hubungan sanitasi rumah secara fisik dengan kejadian ISPA pada anak Balita.  Jurnal Kesehatan Lingkungan.1:110-119.



Sumber https://dr-suparyanto.blogspot.com/
ADSENSE 336 x 280 dan ADSENSE Link Ads 200 x 90

0 Response to "Faktor Resiko Penyakit Ispa"

Posting Komentar