ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Dr. Suparyanto, M.KesCACING SHISTOZOMA
2.1 Schistosoma
Pada insan ditemukan tiga spesies cacing Schistosoma yaitu Schistosoma japonicum, Schistosoma mansoni, Schistosoma haematobium. Selain spesies yang ditemukan pada manusia, masih banyak spesies yang hidup pada binatang dan kadang-kadang dapat hidup di insan (Sutanto dkk 2008, h.61). Spesies cacing yang tergolong trematoda ditemukan pada organ pencernaan dan beberapa organ lainnya. Morfologi trematoda secara umum berbentuk pipih, tidak bersegmen, bentuk memanjang mirip daun, bentuk telur kerucut, silindris dan mempunyai batil hisap kepala dan perut. Umumnya trematoda bersifat hermafrodit, kecuali genus Schistosoma. Hospes definitif spesies trematoda golongan vertebrata diantaranya manusia, sedangkan hospes perantaranya yaitu bangsa keong (Muslim 2009, h.125)
2.1.1 Schistosoma japonicum
Hospesnya yaitu manusia dan aneka macam macam binatang mirip anjing, kucing, rusa, tikus sawah (rattus), sapi, rusa, babi dan lain-lain. Parasit ini pada insan mengakibatkan oriental Schistosomiasis, Schistosomiasis japonicum, penyakit kayama atau penyakit demam keong (Sutanto dkk, 2008, h.66)
1. Distribusi Geografis
|
2. Morfologi dan Daur Hidup
1. Telur
Telur berbentuk oval hingga bulat, dan memerlukan waktu beberapa hari untuk berkembang menjadi mirasidium matang di dalam kulit telur. Masa telur mengakibatkan tekanan pada dinding venula yang tipis, yang biasanya dilemahkan oleh sekresi dari kelenjar histolitik mirasidium yang masih berada di dalam kulit telur. Dinding itu kemudian sobek, dan telur menembus lumen usus yang kemudian keluar dari tubuh. Pada infeksi berat, beribu-ribu cacing ditemukan di dalam pembuluh darah.
Penetasan berlangsung di dalam air walaupun pH, kadar garam, suhu, dan aspek lingkungan lainnya penting, faktor-faktor di dalam telur berperan utama dalam proses penetasan. Migrasi Schistosoma japonicum ke dalam tubuh mulai dari masuknya cacing tersebut ke dalam pembuluh darah kecil, kemudian ke jantung dan sistem peredaran darah. Cacing yang sedang migrasi biasanya tidak atau sedikit menimbulkan kerusakan atau gejala, tetapi kadang terjadi reaksi hebat, contohnya pneumonia akhir masuknya cacing ke dalam paru. Schistosoma japonicum merupakan penyakit yang lebih berat dan destruktif dari pada penyakit yang disebabkan oleh dua spesies lain yang biasa menginfeksi insan (Muslim 2009, h.126).
2. Cacing dewasa
Kulit tubuhnya halus, tidak mempunyai tuberkel dan bersifat gonoturistik, walaupun dalam hospes sering ditemukan berpasangan (cacing betina berada dalam kanalis ginekoporalis cacing jantan).
a. Cacing Dewasa Jantan
Cacing jantan lebih gemuk mirip daun melipat mempunyai kanalis ginekoforalis, berukuran 12-20x50-65 mm, kulit ditutupi duri-duri halus dan lancip, mempunyai batil isap kepala dan perut, testisnya berjumlah 6-9 buah.
b.Cacing Dewasa Betina
Cacing betina berukuran 26x0,3 mm, langsing dan memanjang, ovarium terletak di cuilan lateral, uterus memanjang dan lurus berisi 50-100 telur (Onggowaluyo 2002 h.62).
Gambar: 2.1 Morfologi Cacing Dewasa
Gambar: 2.2 Morfologi Telur
Gambar: 2.3 Siklus Hidup Cacing Schistosoma japonicum
3. Epidemiologi
Di Indonesia penyakit ini ditemukan endemik di dua tempat di Sulawesi Tengah, yaitu di tempat danau Lindu dan lembah Napu. Di tempat danau Lindu penyakit ini ditemukan pada tahun 1972 dan di tempat lembah Napu pada tahun 1972.
Sebagai sumber infeksi, selain insan ditemukan pula hewan-hewan lain sebagai hospes reservoir yang terpenting yaitu spesies tikus sawah (rattus). Selain itu rusa hutan, babi hutan, babi dan anjing dilaporkan juga mengandung cacing ini. Hospes perantaranya, yaitu keong air onicomelania hupensis lindoensis baru ditemukan pada tahun 1971. Habitat keong di tempat danau Lindu ada 2 macam yaitu, fokus di daerah yang dianggap mirip ladang, sawah yang tidak dipakai lagi atau di pinggir parit diantara sawah, fokus di tempat hutan di perbatasan bukit dan dataran rendah. Cara penanggulangan skistosomiasis di Sulawesi Tengah, yang sudah diterapkan semenjak tahun 1982 adalah pengobatan masal dengan prazikuantel yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan melalui Subdirektorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Subdit,P2M& PLP) dengan hasil cukup baik. Prevalensi dari 37% turun menjadi 1,5% sehabis pengobatan (Sutanto 2008, h.68).
2.1.2 Schistosoma Mansoni
Schistosoma mansoni (large intestinal blood fluke) yaitu salah satu spesies trematoda darah yang mempunyai kelamin terpisah. Penyakitnya disebut Schistosomiasis dan pertama kali ditemukan oleh Mansoni pada tahun 1907. Hospes devinitifnya insan dan simpanse babon di Afrika, sekaligus menjadi hospes reservoir. Pada manusia, cacing ini mengakibatkan Schistosomiasis usus (Muslim 2009, h.129).
1. Distribusi Geografik
Schistosoma mansoni ditemukan di banyak negara di Afrika, Amerika Selatan (Brasil, Suriname dan Venezuela), Karibia (termasuk Puerto Rico, St Lucia, Guadeloupe, Martinique, Republik Dominika, Antigua dan Montserat) dan di cuilan Timur Tengah (Departement of Parasitology University Cambridge, 2010).
2. Morfologi dan Daur Hidup
1) Telur
Telur berbentuk lonjong, berwarna coklat kekuningan, dinding hialin, berukuran 114-175x45-64 mikron, pada satu sisi bersahabat ujung terdapat duri bersahabat panjang, isi telur berupa mirasidium. Telur keluar bersama tinja. Telur matang dalam air menetas dan membebaskan mirasidium yang berenang aktif. Mirasidium selanjutnya tumbuh menjadi serkaria yang menembus kulit hospes
2) Cacing dewasa
Cacing sampaumur mempunyai kulit tubuh halus, tidak mempunyai tuberkel dan bersifat gonoturistik mempunyai ukuran lebih kecil.
a. Cacing Dewasa Jantan
Cacing jantan panjangnya 6,4-12 mm gemuk, cuilan ventralnya terdapat ginaekoforalis, testisnya 6-9 buah dan kulit terdiri dari duri-duri kasar.
b. Cacing Dewasa Betina
Cacing betina panjangnya 1,7-7,2 mm, kelenjar vetelaria meluas ke pinggir pertengahan tubuh, ovarium di anterior pertengahan tubuh, uterus pendek berisi 1-4 butir telur. Tempat hidupnya di vena, kolon dan rekrum (Waluyo 2002, h.62).
Gambar: 2.4 Morfologi Cacing Dewasa
Gambar: 2.5 Morfologi Telur Gambar: 2.5 Siklus Hidup cacing Schistosoma mansoni
1. Epidemiologi
Schistosoma mansoni tersebar luas di Sahara Afrika, Atlantik Amerika Selatan dan pulau Karibia. Penularannya terus-menerus melalui budak belian sehingga ditemukan juga di delta sungai Nil Mesir dan Saudi Arabia. Pada tahun 1996 schistosomiasis usus yang disebabkan oleh S. mansoni dilaporkan terdapat pada 52 negara di Afrika, cuilan timur Mediterania, Karibia, dan Amerika Selatan. Upaya pencegahan yang dilakukan prinsipnya sama dengan pencegahan kasus Schistosoma japonicum (Muslim 2009, h.133).
2.1.3 Schistosoma haematobium
1. Distribusi Geografis
Nama penyakit haematobium yang ditimbulkan oleh cacing Schistosoma (bladser blood fluke) yaitu hematuria Schistosoma, Schistosoma vesikalis bilharziasis urinarius, atau yang sering di sebut skistosomiasis kandung kemih. Cara nanah Schistosoma haematobium yaitu serkaria menembus kulit pada waktu manusia mandi dan masuk ke dalam air yang mengandung serkaria yang merupakan bentuk infektif Schistosoma. Schistosoma haematobium menginfeksi kira-kira 40 juta orang Afrika, Madagaskar, Turki, Siprus dan Portugal Selatan. Organ yang paling sering diserang yaitu kandung kemih. “Kistitis bilharzial” biasanya terjadi pada orang muda berusia 10-30 tahun. Beberapa masalah terjadi pada setengah baya dan jarang pada usia tua. Penyakit ini menyerang ureter, ginjal, vesika seminalis, prostat, uretra. Saluran seperma epidemis pada testis dan penis. Pada simpanse, benalu ini pernah ditemukan pada kandung kemih, rektum, paru, hati, apendiks dan vena mesentrika (Muslim 2009, h.132).
2. Morfologi dan Daur Hidup
1) Telur
Telur cacing berbentuk lonjong, warna kuning kecoklatan, ukuran 112-170x40-70 mikron, dinding tampak healin, salah satu ujungnya terdapat duri terminal yang panjang dan lancip, isi telur berupa mirasidium. Telur cacing keluar dari tubuh hospes bersama tinja maupun urin. Telur dalam air menetas dan mengeluarkan mirasidium yang aktif berenang dan mencari keong yang sesuai (Waluyo 2002 h.62).
2) Cacing Dewasa
Cacing sampaumur mempunyai kulit tubuh halus, tidak mempunyai tuberkel dan bersifat gonokoristik. Berukuran 10-20 mm, tubuh mempunyai tonjolan duri halus.
a. Cacing sampaumur jantan
Cacing jantan gemuk berukuran 10-15x0,8-1 mm, kulit di tutupi duri-duri halus, batil isap kepala lebih kecil dari pada batil isap perut, cuilan ventral melipat kearah ekor membentuk kanalis ginaekofilik, di belakang batil isap perut terdapat 4-5 testes, porus genitalis terletak di bawah batil isap perut.
b. Cacing Dewasa Betina
Cacing betina langsing, berukuran 20x0,25 mm, batil isap kecil, ovarium di posterior pertengahan tubuh, dan uterus panjang berisi 20-30 telur.
Gambar: 2.Morfologi Cacing Dewasa
Gambar: 2.8 Morfologi Telur
Gambar:2.9 Siklus Hidup cacing Schistosoma haematobium
2.2 Epidemiologi
Penyebaran Schistosoma haematobium insan tergantung pada variasi hospes keong air. Schistosoma haematobium sangat endemis di seluruh lembah sungai Nil dan boleh dikatakan menyebar di seluruh Afrika, pulau Magasaki, dan Mauritius. Sarang endemis ditemukan di Israel, Jordania, Syria, Irak, yaman, dan daerah kecil di India Barat. Di Mesir dan cuilan lain benua Afrika sebanyak 75-95% penduduk telah terinfeksi. Kera babon menerima infeksi alami, tetapi mungkin tidak penting untuk penyebaran infeksi. Penyebaran di Indonesia terdapat di danau Lindu Sulawesi Tengah. Distribusi Schistososma haematobium sebagian besar di gurun Sahara, di lembah Sungai Nil, di Afrika, Negara utara lainnya, dan di Timur Tengah. Schistosoma haematobium yaitu jenis benalu yang terdapat di Asia dari dari timur, di China dan Filipina. Upaya pencegahan yang dilakukan prinsipnya sama dengan pencegahan kasus Schistosoma japonicum dan Schistosoma mansoni (Muslim 2009, h.132).
2.1.4 Patologis dan Gejala klinis
Perubahan disebabkan oleh 3 stadium perkembangan cacing, yaitu serkaria, cacing sampaumur dan terutama telur. Perubahan pada Schistosomiasis dapat dibagi dalam 3 stadium yaitu: masa tunas biologis, stadium akut, stadium menahun
1. Masa Tunas Biologis
Dimulai saat serkaria menembus kulit, yang dapat menimbulkan pruritus dan kemerahan yang bersifat sementara. Selama infansi hati dan organ lain oleh cacing yang belum dewasa, timbul perdarahan berupa petekia dan sarang infiltrasi sel eosinofil dan leukosit. Pada waktu berakhirnya masa tunas, hati menjadi besar dan nyeri. Terdapat pula rasa tidak enak pada perut, demam, berkeringat, menggigil dan kadang-kadang diare. Cacing muda kemudian bermigrasi melawan anutan darah ke vena mesenterum dan cabang-cabangnya dan telur menyerbu ke dinding usus. Dengan terjadinya perletakan telur, stadium akut dimulai. Pada lingkaran hidup yang normal, telur mencari jalan melewati dinding usus melewati dinding usus dan masuk ke feses. Apabila terdapat banyak telur disertai darah dan sel jaringan nekrosis, sejumlah besar telur akan terbawa kembali, masuk ke anutan hati.
2. Stadium Akut
Stadium yang menunjukkan permulaan penyerbuan telur ke dalam usus, hati dan paru. Stadium paru ditandai oleh demam, malaise, urtikaria, eosinofil, sakit perut, diare, berat tubuh menurun, hati agak membesar, dan adakala limpa membesar. Hepatomegali timbul lebih dini disusul dengan splenomegali sanggup terjadi dalam waktu 5-8 bulan. Telur Schistosoma diletakkan di kelenjar limfe mesentrium dan di dinding usus. Telur yang menyerbu menimbulkan nanah sel yang hebat di dinding usus dengan proliferasi jaringan ikat yang luas, pembentukan papiloma, dan thrombosis pembuluh darah kecil. Perubahan ini bersifat kongesti, mukosa menjadi bergranula atau mengadakan hipertrofi, papil yang kekuning-kuningan dan pembentukan ulkus. Pada penyakit yang lanjut terdapat polip dan striktur.
Lesi yang terberat disebabkan oleh S. japonicum yang menghasilkan 10 kali lebih banyak telur dari pada S. mansoni. Telur ditemukan dalam apendiks pada 75% masalah nanah usus, kadang-kadang disertai dengan nanah basil sekunder, tetapi telur ini jarang menimbulkan sindrom apendisitis.
Telur yang menjadi emboli terutama mengakibatkan proliferasi progresif dan fibroblastik, fibrosis periduktus dan serosis interstisial dengan hipertensi portal yang semakin tinggi. Zat toksin dari cacing dewasa, pigmentasi dan hipoprotinemia lantaran salah gizi mungkin juga memegang peranan dalam pembentukan lesi hati. Fibrosis hati yang mengarah ke serosis merupakan hal yang dapat terjadi pada nanah S. japonicum. Infeksi otak yang jarang sekali dapat pula terjadi terutama disebabkan oleh telur S. japonicum yang menjadi emboli, dan bereaksi secara mekanis sebagai zat protein asing, sebagai materi toksik dan menimbulkan reaksi yang jago dengan adema, infiltrasi sel pada susunan saraf, sel-sel raksasa, perubahan pada vena dan degenerasi jaringan sekitarnya.
Sakit di tempat perut, hepatitis, anoreksi, demam, milgia, disentri dan berat tubuh menurun yaitu tanda-tanda khas untuk Schistosomiasis usus. Stadium akut berlangsung 3 hingga 4 bulan, dan dapat lebih jago pada nanah berat dan nanah oleh S. japonicum karena jumlah telur yang dihasilkan spesies ini lebih banyak.
3) Stadium Menahun
Terjadi penyembuhan jaringan dengan pembentukan jaringan ikat atau fibrosis. Hati yang semula membesar lantaran peradangan, kemudian mengecil karena terjadi fibrosis yang disebut sirosis. Pada Schistosomiasis, serosis yang terjadi yaitu serosis periportal yang menimbulkan terjadinya hipertensi portal lantaran adanya bendungan di dalam jaringan hati. Gejala yang timbul yaitu spelenomegali dan edema, yang biasanya ditemukan pada tungkai bawah sanggup pula pada alat kelamin. Dapat ditemukan asites dan ikterus. Pada stadium lanjut sekali sanggup terjadi hematemisis lantaran pecahnya varises esofagus (Muslim 2009, h.126-128).
2.1.2 Diagnosa Laboratorium
1.Pemeriksaan Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopis dari telur cacing Schistosoma dalam tinja dan urin relatif mudah. Pada bilharzionosis vesikal telur sanggup dikonsentrasikan dengan mensentrifus urin. Telur yang berbentuk khas dengan duri terminal gampang ditemukan pada sedimen urin. Pada bilharziosis usus telur dengan duri lateral sering berada pada lendir yang berdarah yang terdapat dalam tinja. Hasil sanggup juga dengan penelitian mikroskopis dari duri-duri lendir secara rektoskopis.
1) Metode Penetasan Mirasidium
Pada nanah ringan dianjurkan untuk melaksanakan metode penetasan mirasidium. Untuk mengambil tinja sekitar 5 gram, diaduk dengan 250 NaCl fisiologis, disaring kemudian dimasukkan ke dalam gelas kerucut, sehabis terbentuk sedimen proses penjernihan ini diulangi hingga larutan menjadi bening. Gelas kerucut disimpan dalam lemari es dan dibiarkan semalam. Besok paginya diberi air hangat sampai suhu mencapai antara 30-400C lantaran imbas sinar matahari atau cahaya lampu listrik yang berpengaruh mirasidium akan menetas dalam beberapa menit atau beberapa jam. Pemeriksaan dilakukan dengan latar belakang gelap untuk sanggup melihat gerakan yang lincah (Irianto 2013, h.397).
2) Pemeriksaan Konsentrasi
Pemeriksaan Indirek Tinja yaitu investigasi secara tidak eksklusif pada tinja. Pemeriksaan indirek tinja dengan metode konsentrasi ini memungkinkan bentuk benalu terkonsentrasi mengapung pada lapisan teratas dari suatu larutan, dimana larutan tersebut mempunya berat jenis yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan BJ parasit, sedangkan material tinja yang lain (debris) terpisahkan dari parasit, tenggelam. Prosedur pengapungan dengan garam pekat sebagai berikut:
a. Memasukkan larutan garam pekat ke dalam tabung reaksi sebanyak ¼ tabung.
b. Memasukkan 2 gram sampel tinja ke dalam tabung reaksi.
c. Menghomogenkan dengan batang pengaduk larutan garam pekat dan sampel tinja.
d. Meletakkan tabung reaksi dalam rak tabung dengan posisi
tegak lurus.
e. Memasukkan larutan garam pekat ke dalam tabung reaksi
sampai hampir penuh.
f. Menambahkan bertahap larutan garam pekat sampai
permukaan cembung.
g. Menutup tabung reaksi dengan deck glass, tunggu 10 menit.
h. Meneteskan 1 tetes larutan lugol pada objeK glass.
i. Mengambil obyek gelas dengan pinset, kemudian meletakkan di atas obyek.
i. Mengamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 100x.
2. Pemeriksaan Imunologi
Untuk menandakan penyebab Schistosomiasis berkembang serangkaian metode yang tidak langsung, tapi sebagai memakai material benalu hidup. Stadium pertumbuhan dipergunakan untuk reaksi presipitasi, Tes Immobilisasi Miracidium (CHR+Cercarien Hullen Reaction) dan reaksi selubung serkaria. Umumnya kini digunakan CHR, IFAT, dan IHIT. Untuk IFAT dipergunakan serkaria yang diliopilsir dan difiksasi dengan formalin (Irianto 2013, h.397).
2.1.3 Pengobatan
Pada umumnya sanggup dikatakan bahwa obat anti Schistosomiasis tidak ada yang aman atau agak toksik dan semuanya mempunyai resiko masing-masing. Pengaruh obat anti-Schistosoma dapat menyebabkan terlepasnya pegangan cacing sampaumur pada pembuluh darah sehingga cacing tersapu ke dalam hati oleh sirkulasi portal, keamanan ini disebut hepatic shifty.
Beberapa obat yang mempengaruhi cacing sampaumur ini menghambat sistem enzim fosfofruktokinase Schistosoma mansoni, sehingga cacing dewasa tersebut tidak sanggup memanfaatkan glikogen. Obat anti Schistosoma sp diantaranya:
1. Astiban TW 56(Stibocaptate atau antimony-demercaptosuccinate, garam Na dan (K)
2. Nitridasol (1-Nitro-2 triayzol-2 imidazolidnone) (Ambilhar, CIBA-32,644,Ba)
3. Prazikuantel (Embay 8440;Droncit;biltricide) Bayer,A.G, dan Merck Darmstadt
4. Etinin (Tartras emetikus):Fuadi Stibofen, reprodal ,neo- antimoson (Antimony-bispyrocatechin-disulfonic-Nacompound) (Muslim 2009, h.133)
Sebelum dilakukan pengobatan kemoterapi untuk Schistosomiasis sebaiknya dilakukan perbaikan gizi penderita. Pada masalah Schistosomiasis haematobium obat yang memperlihatkan hasil sangat efektif adalah kalium dan antinobium tartrat secara intravena pada dosis maksimum dan teratur (Muslim 2009, h. 129).
2.2 Pila ampullacea
Keong sawah (Pila ampullacea) yaitu sejenis siput air yang gampang dijumpai di perairan tawar Asia tropis, mirip di sawah, aliran parit, serta danau. Hewan bercangkang ini dikenal pula sebagai keong gondang, siput sawah, siput air, atau tutut. Bentuknya agak menyerupai siput murbai, masih berkerabat, tetapi keong sawah mempunyai warna cangkang hijau pekat hingga hitam.
Sebagaimana anggota Ampullariidae lainnya, ia mempunyai operkulum, semacam epilog pelindung tubuhnya yang lunak saat menyembunyikan diri di dalam cangkangnya. Hewan ini dikonsumsi secara luas di wilayah Asia Tenggara dan mempunyai nilai gizi yang baik lantaran mengandung protein yang cukup tinggi. Nilai gizi Pila ampullacea sanggup di lihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 1. Dalam 100 gram Pila ampullacea mempunyai nilai gizi sebagai berikut :
Komponen Gizi | Jumlah |
Energi | 90 kkal |
Ar | 79 g |
Protein | 16,1 g |
Karbohidrat | 2 g |
Lemak | 1,4 g |
Magnesium | 250mg |
Kalsium | 170 mg |
Zat besi | 3,5 mg |
Fosfor | 272 mg |
Kalium | 382 g |
Niasin | 1,4 mg |
Volat | 6mg |
Vitamin A | 100 IU |
Vitamin E | 5 mg |
Sumber: USDA 2006
Nilai gizi Pila ampullacea atau yang dalam bahasa Perancis disebut Escargot, merupakan jenis binatang moluska yang ditemukan di pantai, air tawar yang berbeda digunakan sebagai sumber makanan. Biasanya keong yang dimakan yaitu dari jenis Helix pomatia dan Helix aspersa (Baltyra 2011).
Keong telah usang digunakan sebagai salah satu hidangan konsumsi untuk insan lantaran populer lezat, tidak saja di Indonesia, tetapi juga di beberapa negara lain. Orang Perancis terkadang menyajikan keong sebagai appetizer sedangkan di Amerika dan Australia, keong yang mereka sebut abalone pada umumnya dikonsumsi sebagai kuliner utama, contohnya dalam masakan Spaghetti with escargots dan Abalone in oyster sauce (Baltyra 2011).
Pila ampullacea kaya akan protein, tetapi rendah lemak (lihat tabel terlampir) sehingga sanggup dijadikan sebagai alternatif kuliner tinggi protein yang rendah lemak. Dalam seratus gram cuilan yang sanggup dimakan terdapat 16 g protein sehingga apabila kita mengkonsumsi 100 g Pila ampullacea, tubuh kita sudah menerima 32% protein dari kebutuhan sehari-hari. Protein menunjang keberadaan setiap sel tubuh dan juga berperan dalam proses kekebalan tubuh. Konsumsi protein hewani dalam kuliner sehari-hari dibutuhkan oleh tubuh disamping protein nabati (Baltyra 2011)
Lemak dalam 100 g Pila ampullacea terdapat dalam jumlah 1,4 g. Lemak yang terdapat dalam Pila ampullacea merupakan asam lemak essensial dalam bentuk asam linoleat dan asam linolenat. Sebuah studi di Brazil memperlihatkan bahwa 75% persen lemak dalam Pila ampullacea merupakan asam lemak tidak jenuh yang sanggup menurunkan kadar kolesterol darah. Asam lemak tidak jenuh tersebut 57% tersusun dari asam lemak tak jenuh ganda dan sisanya merupakan asam lemak tak jenuh tunggal (Baltyra 2011).
Kandungan vitamin pada Pila ampullacea cukup tinggi dengan dominasi vitamin A, vitamin E, niacin dan folat. Vitamin A berperan dalam pembentukkan indra penglihatan yang baik, terutama di malam hari, sebagai salah satu komponen penyusun pigmen mata di retina serta menjaga kesehatan kulit dan imunitas tubuh. Niacin atau vitamin B3 berperan penting dalam metabolisme karbohidrat untuk menghasilkan energi, metabolisme lemak, dan protein (Baltyra 2011).
Di dalam tubuh, vitamin B3 mempunyai peranan penting dalam menjaga kadar gula darah, tekanan darah tinggi, penyembuhan migrain, dan vertigo. Vitamin E berperan dalam menjaga kesehatan aneka macam jaringan di dalam tubuh, mulai dari jaringan kulit, mata, sel darah merah hingga hati. Vitamin E juga merupakan sebagai senyawa antioksidan alami. Folat berfungsi membantu pembentukan sel darah merah, mencegah anemia, sebagai materi pembentukan materi genetik sel, dan sangat esensial selama kehamilan lantaran mencegah timbulnya ketaknormalan tabung saraf pada bayi. Apabila kita mengkonsumsi 100 gram kraca, maka kita sanggup memenuhi kebutuhan 2% vitamin A, 23% vitamin E, 7% niacin dan 66% folat (Baltyra 2011).
Mineral merupakan zat yang berperan penting pada tubuh insan untuk pengaturan kerja enzim-enzim, pemeliharaan keseimbangan asam-basa, membantu pembentukan ikatan yang memerlukan mineral mirip pembentukan haemoglobin. Kandungan mineral yang utama pada Pila ampullacea berupa kalsium, zat besi, magnesium, kalium dan fosfor. Apabila kita mengkonsumsi 100 g Pila ampullacea, maka sudah memenuhi 17% kalsium dan 13,5% zat besi untuk kebutuhan tubuh sehari-hari (Baltyra 2011).
Peran utama kalsium yaitu untuk pembentukan dan pemeliharaan tulang dan gigi. Kekurangan kalsium menimbulkan terjadinya osteoporosis (keropos pada tulang). Zat besi mempunyai fungsi utama memproduksi hemoglobin dan mioglobin. Zat besi yang berasal dari produk hewani atau disebut juga sebagai besi-hem, akan lebih gampang diserap oleh tubuh. Zat besi pada keong berjumlah 3,5 mg, lebih tinggi daripada zat besi pada daging (2,5 mg) atau ikan (2,4 mg) (Baltyra 2011).
2.2.1 Pencegahan
Pengendalian penyakit dalam arti penurunan tingkat penularan dilakukan dengan jalan mengurangi populasi siput atau Pila ampullacea sebagai induk semang antara parasit. Kombinasi senyawa cupri sulfat dan carbonat, sodium pentachloro dilaporkan cukup baik sebagai (mulosisida) pengontrolan populasi Pila ampullacea yang dikenal masyarakat dengan kreco. Pengendalian populasi siput atau Pila ampullacea dan pengobatan pada binatang secara besar-besaran pernah dilakukan di China lantaran binatang dianggap sebagai reservoir benalu yang sanggup menular ke manusia.
Fresco dan bayluscide juga sanggup digunakan sebagai mulosisida yang baik. Pemberantasan Pilla ampullacea dalam areal yang luas sulit dilakukan. Kontak antara Pila ampullacea dan binatang sanggup dikurangi dengan memperlihatkan pagar di sekeliling danau atau atau kolam air. Pila ampullacea sebagai induk semang Schistostoma sp. Senang hidup di air damai atau anutan yang pelan. Aliran air yang deras akan mengurangi populasi Pila ampullacea.
Secara eksperimental, pengendalian secara biologis memakai larva trematoda Echinostoma sp sebagai predator dari larva Schistostoma sp dalam tubuh Pila ampullacea cukup berhasil. Namun belum efektif di lapangan. Vaksin terhadap Schistosoma pernah dicoba pada sapi dan domba. Vaksin memakai Schistosomula yang dinaktifasi secara radiasi dan suntikan sub-kutan atau intra muskuler memperlihatkan pemberian sebesar 60%. Secara ekonofilik, vaksin ini memperlihatkan pertambahan berat tubuh yang faktual dibandingkan dengan binatang kontrol (Irianto,2013, h.397-398).
Cara penanggulangan skistosomiasis di Sulawesi Tengah, yang sudah diterapkan semenjak tahun 1982 adalah pengobatan masal dengan prazikuantel yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan melalui Subdirektorat Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Subdit, P2M& PLP ) dengan hasil cukup baik. Prevalensi dari 37% turun menjadi 1,5% sehabis pengobatan (Sutanto 2008, h.68).
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto Suharsimi., 2006. Prosedur Penelitian. Edisi Revisi VI. PT Asdi Mahasatya, Jakarta.
Baltyra, 2011, keong yang kaya akan gizi,
http://baltyra.com/2011/09/01/tutut-kraca-%e2%80%93-keong-sawah-yang-kaya-gizi/#ixzz28Cndd3sD, diakses pada tanggal 8 januari 2014.
Budiarto, E 2002, Biostatistika Untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat, Widyastuti, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Cahyaningrum, 2012, Satu Keluarga di Banyumas Keracunan Keong,
http://regional.kompas.com/read/2012/04/16/15233441/twitter.com, diakses pada tanggal 22 Desember 2013
Hidayat, A, A, I 2010, Metode Penelitian Kesehatan, Health Books Publishing, Surabaya.
Onggowaluyo. J.S., 2002. Parasitologi Medik I EGC : Jakarta.
Muslim, HM 2009, Parasitologi Untuk Keperawatan, EGC, Jakarta.
Titik, 2013, Inspirasiku,
http://tulisaninspirasiku.wordpress.com/, diakses pada tanggal 12 Desember 2013.
Notoatmodjo. Soekidjo., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
Nursalam 2008, Konsep danPenerapan Metodologi penelitian Ilmu Keperawatan,
edk ke 2, Salemba Medika, Jakarta.
Wahyudi, 2011, makan tutut mengakibatkan cacingan,.
http://baltyra.com/2011/09/01/tutut-kraca-–-keong-sawah-yang-kaya-gizi, diakses pada tanggal 22 Desember 2013
Widodo, H 2013, Parasitologi Kedokteran, D-Medika Jogjakarta
Sumber https://dr-suparyanto.blogspot.com/
0 Response to "Cacing Shistozoma"
Posting Komentar