Sekilas Wacana Anak Autis

ADSENSE Link Ads 200 x 90
ADSENSE 336 x 280
Dr. Suparyanto, M.Kes


SEKILAS TENTANG ANAK AUTIS

2.1  Konsep Autis
2.1.1    Pengertian
Autisme berasal dari kata “auto” yang artinya sendiri. Istilah ini digunakan lantaran mereka yang mengidap tanda-tanda autisme seringkali memang terlihat menyerupai orang yang hidup sendiri. Mereka seakan-akan hidup di dunianya sendiri dan terlepas dari kontak sosial yang ada disekitarnya. Autisme merupakan salah satu bentuk gangguan tumbuh kembang, berupa sekumpulan tanda-tanda tanggapan adanya kelainan syaraf-syaraf tertentu yang menimbulkan funsi otak tidak bekerja secara normal sehingga mempengaruhi tumbuh kembang, kemampuan komunikasi, dan kemampuan interaksi sosialnya (Sunu, 2012).
Kata autistik diambil dari kata Yunani, autos = aku, yaitu seluruh sikap anak yang mengarah pada dunianya sendiri. Istilah autistik memperlihatkan suatu tanda-tanda psikologis yang unik dan menonjol, yakni mengacuhkan suara, penglihatan atau kejadian-kejadian yang melibatkan dirinya (Pieter, dkk., 2011)
Autisme yakni gangguan perkembangan sikap dengan cakupan yang luas. Anak mungkin menderita autis bila memperlihatkan adonan kesulitan-kesulitan menyerupai interaksi sosial, komunikasi, dan imajinasi (Laurent, 2009).
Autisme berasal dari kata “Autos” yang berarti diri sendiri dan “isme” yang berarti suatu aliran. Berarti autisme yakni suatu paham yang tertarik hanya pada dunianya sendiri. Autis yakni suatu gangguan perkembangan yang komplek menyangkut komunikasi, interaksi sosial dan aktifitas imajinasi, gangguan sensoris, tumpuan bermain, perilaku, dan emosi (Jurnal: Malik, dkk., 2010).
Autisme yakni gangguan perkembangan berat yang antara lain mempengaruhi cara seseorang untuk berkomunikasi dan berelasi (berhubungan) dengan orang lain. Penyandang autis tidak sanggup berhubungan dengan orang lain secara berarti lantaran antara lain ketidakmampuan berkomunikasi mulut maupun non mulut (Jurnal: Habiburrohman, 2011).
2.1.2    Penyebab Autis
Sampai kini belum terdeteksi faktor yang menjadi penyebab tunggal timbulnya gangguan autisme. Namun demikian ada beberapa faktor yang sanggup menjadi penyebab timbulnya autis berdasarkan beberapa hasil penelitian:
a.     Faktor Psikologis dan Keluarga
Faktor-faktor psikologis yang sanggup menimbulkan gangguan autis yakni ketidaksadaran dan ketidakpahaman akan eksistensi diri yang bergotong-royong berbeda dengan orang lain, tidak mempunyai percaya diri pada kekuatan dan potensinya, sikap menarik diri dari situasi sosial, pandangan dunia luar yang terlalu sempit, disabilitas kognitif (keterlambatan kognitif), kegagalan dalam korelasi sosial, ketidakmampuan berbahasa, rendahnya kosep diri dan sikap yang tidak lazim (Pieter, dkk., 2011).
Beberapa hebat (Kanner dan Bruno Bettelhem) menganggap autisme sebagai tanggapan korelasi yang dingin, tidak bersahabat antara orang bau tanah (ibu) dan anak. Demikian juga dikatakan, orang bau tanah atau pengasuh yang emosional, kaku, obsesif, tidak hangat bahkan hirau taacuh sanggup menimbulkan anak asuhnya menjadi autistik (Jurnal: Pertiwi, 2013).
b.     Faktor Biologis
1)     Faktor genetik
Yaitu keluarga yang terdapat anak autistik mempunyai resiko lebih tinggi dibanding populasi keluarga normal. Hal ini didasarkan pada pewarisan sifat-sifat induk melalui kromosom. Manusia normal mengandung 46 kromosom, atau sanggup dikatakan 23 kromosom dari pria dan 23 kromosom dari perempuan. Sedangkan kromosom insan yang tidak normal mempunyai 45 atau 47 buah kromosom. Kromosom yang tidak normal inilah yang membawa sifat keturunan gangguan mental.
            Kromosom sendiri terbagi menjadi dua, yaitu kromosom sek yang terdiri dari satu pasang kromosom yang memilih jenis kelamin, dan kromosom otomos yang merupakan kromosom pasangan pertama hingga pasangan ke-22 yang mewarisi sifat-sifat induknya menyerupai bentuk badan, warna kulit, intelegensi, bakat-bakat khusus dan juga gangguan mental (Jurnal: Setyawan, 2010).
          Menurut para peneliti, faktor genetik memegang peranan besar lengan berkuasa sebagai penyebab autis lantaran insan banyak mengalami mutasi genetik tanggapan dari cara hidup yang semakin “modern” menyerupai penggunaan zat kimia dalam kehidupan sehari-hari, dan faktor udara yang semakin terpolusi (Maulana, 2007).
          Hasil penelitian lain menemukan bahwa gangguan autistik lebih banyak ditemukan pada anak pria dibandingkan dengan anak perempuan, yakni sekitar 3-5 lebih banyak pada anak laki-laki. Namun tingkat keparahannya lebih banyak terjadi pada anak perempuan, apalagi bila mempunyai riwayat keluarga autistik. Sementara penelitian Cook (2001) menemukan bahwa gangguan autis mempunyai komponen genetik dari keluarga yang mempunyai anak autis berkisar 3-5%. Hasil penelitian pada anak kembar ternyata ditemukan bahwa adanya kesesuaian gen gangguan autis pada anak kembar monozigotik dengan angka bantuan diperkirakan sekitar 36% (Pieter, dkk., 2011).
2)     Pre Natal
            Beberapa faktor yang sanggup memicu munculnya autis pada masa kehamilan terjadi pada masa kehamilan 0-4 bulan, bisa diakibatkan oleh polutan logam berat (Pb, Hg, Cd, Al), nanah (toksoplasma, rubella, candida, dan sebagainya), zat aditif (pengawet, pewarna dan MSG), hiperemesis (muntah-muntah berat), perdarahan berat, dan alergi berat (Sunu, 2012).
a)     Lama masa kehamilan
Penelitian yang dilakukan Tommy Movsas dari Michigan State University memperlihatkan bahwa bayi yang lahir prematur (sebelum usia kandungan cukup bulan) mempunyai risiko tinggi mengidap autis. Demikian juga bila lahirnya lebih usang dari masa kehamilan normal, risiko mengidap autis juga sama tinggi (Pramudiarja, 2013).
Usia kehamilan normal pada ibu hamil yaitu 37-42 minggu. Sedangkan kehamilan yang lebih dari 42 ahad disebut sebagai kehamilan lewat waktu (postterm), dan disebut kehamilan preterm jika usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Biasanya bayi yang lahir prematur akan gampang terjangkit penyakit, yaitu penyakit kuning. Disebut kehamilan preterm jika usia kehamilan kurang dari 37 minggu. Hal ini berdampak pada bayi dimana kekebalan tubuh bayi masih lemah lantaran fungsi organ tubuhnya belum terbentuk sempurna, sehingga perkembangan bayi terganggu (Hartati, 2010).
b)     Obesitas
Menurut Paula Krakowiak, epidemiolog dari UC Davis MIND Institute, penelitian terbaru yang dilakukan para ilmuwan yang berhubungan dengan UC Davis MIND Institute menemukan bahwa ibu yang obesitas beresiko 67% lebih besar melahirkan anak yang menyandang autis (Kompas.com).
Menurut dr. Suririnah, bahwa selama kehamilan, ibu hamil perlu untuk bertambah berat tubuh (Hartati, 2010). Berat tubuh perempuan hamil akan mengalami kenaikan sekitar 6,5-16,5 kg. Metode yang biasa digunakan yakni BMI (Body Mass Index). Kenaikan berat tubuh terlalu banyak ditemukan pada kasus preeklampsi dan eklampsi (Rukiyah, dkk., 2009). Hal ini berhubungan dengan hipertensi pada kehamilan yang sanggup dengan cepat menimbulkan oliguria dan disfungsi ginjal. Sehingga prognosis pada bayi dan ibunya menjadi serius (Solikhah, 2011).
c)     Diabetes
Selain obesitas, hasil penelitian para ilmuwan yang berhubungan dengan UC Davis MIND Institue juga menemukan bahwa penderita diabetes berisiko 2,3 kali lebih besar mempunyai anak dengan gangguan perkembangan dibandingkan ibu dengan kondisi sehat. Namun, proporsi ibu dengan diabetes yang mempunyai anak autis lebih tinggi daripada ibu yang sehat, meski secara statistik tidak terlalu signifikan. Studi ini juga menemukan, anak penyandang autis dari ibu penderita diabetes lebih mungkin mengalami kecacatan (rendahnya pemahaman bahasa dan komunikasi) daripada anak autis yang lahir dari ibu yang sehat. Namun, bawah umur tanpa autisme yang lahir dari ibu penderita diabetes juga rentan mengalami gangguan sosialisasi bila dibandingkan dengan anak tanpa autis dari ibu yang sehat (Kompas.com).
Menurut peneliti, pada ibu penderita diabetes dan kemungkinan kondisi pra-diabetes di masa kehamilan, pengaturan glukosa menjadi sulit diatur sehingga meningkatkan produksi insulin pada janin. Produksi insulin yang tinggi menciptakan kebutuhan akan oksigen menjadi lebih besar, hasilnya suplai oksigen bagi janin menjadi berkurang (Kompas.com). Kejadian diabetes pada ibu hamil bisa didapat ketika hamil atau sebelumnya memang mempunyai kadar gula yang tinggi (Solikhah, 2011).
Beberapa imbas penyakit diabetes terhadap janin atau bayi:
(1)   Bayi berisiko mengalami kelainan jiwa
(2)   Bayi berisiko mengidap penyakit gula
(3)   Bayi berisiko mengalami cacat bawaan
(4)   Kematian janin dalam rahim (> ke-36) dan lahir mati
(5)   Bayi dengan dismaturitas
(Solikhah, 2011).
d)     Perdarahan selama masa kehamilan
Perdarahan selama kehamilan sering bersumber dari placenta complication yang menimbulkan gangguan perkembangan otak. Perdarahan pada awal kehamilan berkaitan dengan kelahiran prematur dan mempunyai berat bayi yang rendah, dimana kondisi ini sangat rentan terjadinya autistik. Dalam periode neonatus, anak autis mempunyai insiden yang tinggi untuk mengalami sindrom gawat pernapasan dan anemia neonatus. Beberapa komplikasi yang timbul pada neonatus mempengaruhi kondisi fisik bayi yang akan dilahirkan. Bila terjadi gangguan kelahiran, maka hal yang paling berbahaya yakni kendala aliran darah pada otak dan oksigen ke seluruh tubuh. Dan organ yang paling sensitif terkena autistik yakni otak (Pieter, dkk., 2011).
Pada awal kehamilan, perdarahan gila yakni merah, banyak, atau perdarahan dengan rasa nyeri (Asrinah, 2010). Sedangkan, pada kehamilan lanjut perdarahan yang berbahaya antara 24-28 minggu. Hal ini dikarenakan sifat perdarahan yang cepat dan banyak yang berasal dari gangguan pada plasenta (Dewi, 2011). Apabila diagnosa klinik sanggup ditegakkan, itu berarti perdarahan telah terjadi sekurang-kurangnya 500 ml.
e)     Usia orang bau tanah ketika hamil
Menurut Alycia Halladay, Direktur Riset Studi Lingkungan Autism Speaks, makin bau tanah usia orangtua ketika mempunyai anak, makin tinggi risiko si anak menderita autis. Penelitian yang dipublikasikan tahun 2010 menemukan, perempuan usia 40 tahun mempunyai risiko 50 persen mempunyai anak autisme dibandingkan dengan perempuan berusia 20-29 tahun. Hal ini diduga lantaran terjadinya faktor mutasi gen (Kompas.com).
Terlalu bau tanah untuk hamil (usia diatas 35 tahun) bisa jadi berakibat pada persalinan, yaitu persalinan memakan waktu cukup lama, disertai perdarahan dan risiko cacat bawaan. Sedangkan hamil di bawah usia 20 tahun bisa berakibat kesulitan dalam melahirkan dan keracunan ketika hamil (Hartati, 2010).
3)     Zat-zat aditif yang mencemari otak anak
Menurut Sunu, beberapa faktor yang berpotensi menjadi penyebab autis pada anak antara lain seperti:
a)     Asupan MSG (Mono Sodium Glutamat)
b)     Protein tepung terigu (gluten), dan protein susu sapi (kasein)
c)     Zat perwarna
d)     Bahan pengawet
e)     Polutan logam berat. Dari hasil tes pada darah dan rambut beberapa anak autis ditemukan kandungan logam berat dan beracun menyerupai arsenik, antimoni, kadmium (Cd), air raksa (Hg), atau timbal (Pb). Diduga kemampuan tubuh anak autis tidak bisa melaksanakan sekresi terhadap logam berat tanggapan problem yang sifatnya genetis.
f)      Bahkan beberapa hebat juga beropini bahwa jenis imunisasi menyerupai MRR (Mump, Measles, and Rubbella) dan hepatitis B pada bayi sanggup juga menjadi pemicu munculnya autisme, meskipun hal ini masih menjadi perdebatan (Sunu, 2012). Selama ini pinjaman vaksin kombinasi three in one, yakni vaksin campak, gondok, dan rubela (MMR) dan vaksin hepatitis B masih dianggap sebagai vaksin penyelamat manusia. Akan tetapi, dari data-data patologis ditemukan bahwa vaksin MMR juga dianggap bisa memperlihatkan bantuan pada pembentukan autis. Diperkirakan vaksin ini mengandung zat pengawet (Pieter, dkk., 2011).
4)     Neurobiologis
Dari data prevalensi memperlihatkan bahwa tiga dari empat penderita autis mempunyai kecenderungan retradasi mental dengan tingkat estimasi antara 30%-70%, sehingga penderita autis memperlihatkan keanehan neurobiologis, menyerupai kekakuan gerakan tubuh dan cara berjalan yang abnormal. Hasil CATSCAN (Computer Assisted Axial Tomography) dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) menemukan adanya keanehan cerebellum pada penderita autis. Penemuan ini diperkuat oleh penelitian Courchesne (1991) yang menemukan adanya keterkaitan keanehan otak cuilan cerebellum terhadap gangguan autistik (Pieter, dkk., 2011).
5)     Gangguan sistem pencernaan
Kurangnya enzim sekretin diketahui berhubungan dengan munculnya tanda-tanda autisme. Kasus semacam ini ditemukan pada seorang penderita autis berjulukan Parker Back pada tahun 1997. Selain itu, hasil investigasi usus bawah umur yang mengalami autisme ditemukan adanya peradangan. Dari hasil penelitian, peradangan ini diketahui disebabkan oleh virus campak (Sunu, 2012).
c.      Faktor Sosio Kultural
Yaitu faktor yang berlangsung dalam lingkungan hidup (kehidupan sosial). Faktor ini mempunyai daya dorong terhadap perkembangan kepribadian anak. Faktor sosio kultural ini juga mencakup objek dalam masyarakat atau tuntutan dari masyarakat yang sanggup berakibat tekanan pada individu sehingga melahirkan banyak sekali gangguan, menyerupai suasana perang dan suasana kehidupan yang diliputi kekerasan, menjadi korban prasangka dan diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, politik, dan sebagainya, perubahan sosial dan IPTEK yang sangat cepat (Jurnal: Setyawan, 2010).
2.1.3    Ciri-Ciri Autis
a.     Gangguan pada Kognitif
Dalam bidang kognitif, mereka masih mempunyai ingatan yang cukup baik, namun kurang mempunyai fantasi atau imajinasi sehingga mempunyai sifat ketidaktertarikan yang kompleks baik kepada orang, huruf khayalan, binatang, ataupun kiprah orang dewasa.
b.     Gangguan pada Bidang Interaksi Sosial
Anak autistik sering memperlihatkan kurangnya respons sosial dan gagal membentuk ikatan sosial sekalipun sudah terbiasa bergaul dengan pengasuhnya. Orang-orang disekitarnya kerap kali dimanifestasikan sebagai objek pencapaian kebutuhannya. Akibatnya anak autis kurang mempunyai respon sosial ketika ia terluka, sakit atau kelelahan, sehingga mereka sama sekali tidak mencari atau membutuhkan orang lain untuk mendapatkan pertolongan.

c.      Gangguan Bidang Komunikasi
Sejak dilahirkan, anak autis mempunyai kontak sosial yang sangat terbatas. Perhatian mereka hampir tidak ada, terfokus kepada orang lain, melainkan pada benda-benda mati yang disertai dengan taktil kenestesis, yakni gerakan yang dilakukan bersamaan dengan nafsu meraba-raba dirinya sendiri.
d.     Gangguan dalam Persepsi Sensoris
Gangguan ini ditandai dengan sikap mencium-cium, menggigit-gigit mainan atau benda-benda, dan bila mendengarkan bunyi yang baru, mereka eksklusif menutup telinganya. Anak autis juga tidak menyukai rabaan dan pelukan.
e.     Gangguan dalam Perilaku
Gangguan sikap pada anak autis ditandai dengan sikap yang hiperbola (excessive) dan sikap yang sangat kurang (defisit), menyerupai impulsif, repetitif, dan pada waktu tertentu ia akan merasa terkesan dan melaksanakan permainan yang monoton. Hal ini diakibatkan tumpuan kelekatan terhadap benda-benda tertentu.
f.       Gangguan dalam Bidang Perasaan
Gangguan dalam bidang perasaan ditandai dengan kurangnya ras tenggang rasa (kurang bisa membuatkan perasaan), tidak mempunyai simpati, toleransi yang sangat rendah, misal tertawa, menangis, murka atau mengamuk (temper tantrum) tanpa alasannya yakni dan sulit dikendalikan, terutama apabila tidak mendapatkan sesuatu yang diinginkannya, maka sikap aksi atau merusaknya sulit dikontrol. Apalagi bila perubahan rutinitas hariannya terganggu, maka ia sering mengalami distress (Pieter, dkk., 2011).
2.1.4     Klasifikasi Autis
Menurut Yatim (2002), penjabaran anak autis dikelompokkan menjadi tiga, antar lain:
a.     Autisme Persepsi
Dianggap autisme yang orisinil lantaran kelainan sudah timbul sebelum lahir. Ketidakmapuan anak berbahasa termasuk pada penyimpangan reaksi terhadap rangsangan dari luar, begitu juga ketidakmampuan anak bekerjasama dengan orang lain, sehingga anak bersikap masa bodoh.
b.     Autisme Reaksi
Terjadi lantaran beberapa permasalahan yang menimbulkan kecemasan menyerupai orangtua meninggal, sakit berat, pindah rumah atau sekolah dan sebagainya. Autisme ini akan memumculkan gerakan-gerakan tertentu berulang-ulang disertai kejang-kejang.  Gejala ini muncul pada usia lebih besar 6 hingga 7 tahun sebelum anak memasuki tahapan berpikir logis.
c.      Autisme yang timbul kemudian
Terjadi sehabis anak menginjak usia sekolah, dikarenakan kelainan jaringan otak yang terjadi sehabis anak lahir. Hal ini akan mempersulit dalam hal pinjaman training dan pelayanan pendidikan untuk mengubah perilakunya yang sudah menempel (Pertiwi, 2013).
2.1.5    Gejala Autis
Gejala-gejala pada penyandang autis bervariasi, bisa ringan maupun berat. Gejala tersebut antara lain:
a.     Senang tidur bermalas-malasan atau duduk menyendiri dengan tampang acuh, muka pucat, dan mata sayu dan selalu memandang ke bawah
b.     Selalu membisu sepanjang waktu
c.      Jika ada pertanyaan terhadapnya, jawabannya sangat pelan dengan nada monoton, kemudian dengan bunyi yang aneh ia akan mengucapkan atau menceritakan dirinya dengan beberapa kata, kemudian membisu menyendiri lagi
d.     Tidak pernah bertanya, tidak memperlihatkan rasa takut, tidak punya keinginan yang bermacam-macam, serta tidak menyenangi sekelilingnya
e.     Tidak tampak ceria
f.       Tidak peduli terhadap sekelilingnya, kecuali pada benda yang disukainya
(Delphie, 2006).
Untuk menegakkan sebuah diagnosa bahwa seorang anak mengidap autisme, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Selama ini panduan yang digunakan oleh para dokter, psikiater, atau psikolog biasanya merujuk pada ICD-10 (International Classification of Diseases) 1993, atau memakai rumus dalam DSM-IV (Diagnostic Statistical Manual) 1994 yang disusun oleh kelompok Psikiatri di Amerika Serikat sebagai panduan untuk menegakkan diagnosa. Pada dasarnya diagnosa autisme yang ditegakkan berdasarkan ICD-10 atau DSM-IV memperlihatkan kriteria yang sama (Sunu, 2012).
2.1.6     Diagnosis dan Gambaran Klinis Autis
Untuk mendiagnosis autisme bukanlah hal yang mudah. Kesulitan tersebut ada pada bagaimana mengenal dan menilai gejala-gejala autisme. Hal ini dikarenakan pada anak kecil, bicara dan keterampilan berfikirnya masih dalam taraf perkembangan.
Maka sebaiknya dilakukan banyak sekali macam tes kesehatan yang tersedia untuk membantu diagnosis autisme, yaitu:
a.     Pemeriksaan pendengaran (audiometric)
b.     Electrochepalogram (EEG)
c.      MRI
d.     CATSCAN
e.     Tes genetik
Setelah menilai hasil observasi dengan cermat dan hasil tes, maka para hebat menciptakan diagnosis autisme bila terdapat bukti-bukti jelas, seperti:
a.     Hubungan sosial yang terbatas dan buruk
b.     Keterampilan komunikasi belum sempurna
c.      Perilaku berulang-ulang, minat dan aktifitaspun berkurang
(Jurnal: Bangun, 2011).
2.1.7     Dampak Autis
a.     Bagi orang tua
Orang bau tanah yang mempunyai anak autis menghadapi kondisi dimana terjadi ketidakcocokan antara kenyataan dan cita-cita yang diinginkannya. Sebagai orang bau tanah pastilah menginginkan anak yang dilahirkannya yakni anak yang sehat dan normal, namun apabila kenyataannya tidak menyerupai yang dibutuhkan pastilah akan menimbulkan dampak pada mereka. Konflik-konflik yang mungkin terjadi pada keluarga dengan anak autis:
1)     Masalah keuangan
Masalah keuangan ini berhubungan dengan terapi untuk anak autis yang memerlukan biaya yang mahal, dan apabila konflik tersebut tidak segera diselesaikan maka akan memunculkan dampak psikologis pada orang tua, menyerupai ketidakberdayaan dalam memenuhi kebutuhan terapi anaknya, dan rasa bersalah, yang pada akhirnya memicu stres bahkan depresi.
2)     Kecenderungan mengingkari kenyataan
Sebagai orang tua, hal yang paling dibanggakan yakni anaknya, maka ketika mengetahui anaknya autis, orang bau tanah akan berusaha mengingkari. Apalagi bila lingkungan disekitarnya mempunyai bawah umur yang sehat, orang bau tanah juga akan merasa harga dirinya turun lantaran tidak bisa mendapatkan keadaan anaknya dengan baik (Jurnal: Pujiani, 2007).
b.     Bagi saudara penyandang autis
Saudara penyandang autis akan merasa khawatir apakah mereka juga akan menderita hal yang sama. Dan juga duka lantaran mereka tidak punya korelasi bermain dengan saudara mereka menyerupai yang dimiliki teman-teman lainnya. Mereka mungkin jadi takut pada saudara mereka atau cemburu atas waktu yang dicurahkan orang bau tanah mereka pada saudaranya.
c.      Bagi kakek dan nenek
Sulit bagi kakek dan nenek ketika mendengar cucu mereka didiagnosa autis. Mereka akan mengalami banyak sekali emosi yang berbeda termasuk kaget, pengabaian, kesedihan, dan khawatir (Williams, 2007).
2.1.8    Cara Penanganan Anak Penyandang Autis
Peran orang bau tanah dalam menyembuhkan anak autis sangat penting. Selain harus melaksanakan pengobatan medis, orang bau tanah juga dituntut bijak dan sabar dalam menghadapi kondisi anak. Selain itu, orang bau tanah juga dibutuhkan bisa mengetahui dinamika perkembangan dan kebutuhan psikologi anak autistik. Hal ini sanggup dilakukan melalui sikap penerimaan dan pinjaman kasih sayang serta pemahaman kekurangan anak autis dari orang tua, terutama sikap ibu dan anggota keluarga lainnya (Pieter, dkk., 2011).
Selain kiprah orang tua, ada beberapa terapi yang bisa dijalani oleh anak autis, antara lain:
a.     Terapi Perilaku
Terapi sikap merupakan suatu teknik terapi yang bertujuan untuk menghilangkan perilaku-perilaku yang tidak sanggup diterima secara sosial dan untuk membangun perilaku-perilaku yang secara sosial bermanfaat dan sanggup diterima.
Perilaku anak autis yang tidak masuk akal intinya sanggup kita bedakan menjadi dua kategori, yaitu:
1)     Perilaku hiperbola (excessive)
            Merupakan sikap yang terlalu banyak dan tidak perlu sehingga perlu dikurangi, misalnya:
a)     Agresif
b)     Emosi yang tidak terkendali
c)     Mengamuk (tantrum) dengan banyak sekali cara, termasuk menendang, menjerit, menggigit, dan lain-lain
d)     Stimulasi diri, menggerak-gerakkan jari sendiri dan mengamatinya terus menerus
e)     Memberantakkan barang-barang

2)     Perilaku kekurangan (deficient)
          Merupakan sikap yang seharusnya ada dan sudah dikuasai untuk anak yang seusia, namun pada anak autis masih terlihat kurang atau mungkin sama sekali belum ada, seperti:
a)     Kontak mata kurang
b)     Tidak merespon
c)     Berbicara yang tidak bertujuan komunikasi
d)     Membeo (ekolalia)
e)     Motorik halus dan kasar kurang
f)      Tidak bisa mengurus diri sendiri
g)     Tidak bisa bersosialisasi, dan lain-lain
(Sunu, 2012).
b.     Terapi Okupasi
Terapi okupasi yakni salah satu jenis terapi kesehatan yang merupakan cuilan dari rehabilitasi medis. Penekanan pada terapi ini yakni pada sensomotorik dan proses neurologi dengan cara memanipulasi, memfasilitasi, dan menginhibisi lingkungan sehingga tercapai peningkatan, perbaikan dan pemeliharaan kemampuan anak (Jurnal: Setyawan, 2010).
Tujuan terapi okupasi dibedakan menjadi tiga, yaitu:
1)     Diversional
Ditujukan untuk mengisi kesibukan dan pengalih perhatian sehingga menghindarkan anak autis dari neurosis tanggapan rasa putus asa lantaran gagal dalam memenuhi tuntutan sosial.

2)     Pemulihan fungsional
Ditujukan untuk mengembalikan fungsi-fungsi tubuh menyerupai otot, sendi, dan anggota tubuh lainnya biar sanggup berfungsi sebagaimana mestinya da sanggup digunakan secara masuk akal untuk beraktivitas sehari-hari dengan baik.
3)     Latihan prevokasional
Memberi anak kesiapan untuk menghadapi tugas, pekerjaan, atau profesi yang ingin dijalaninya sesuai dengan kondisi anak (Sunu, 2012).
c.      Terapi Sensori Integrasi
Merupakan cuilan dari terapi okupasi yang dikembangkan oleh Dr. Ayres dan koleganya berdasarkan riset yang mereka lakukan. Tujuannya bukan menyembuhkan diagnosa autis, namun lebih bertujuan untuk memperbaiki fugsi otaknya sehingga anak lebih adaptif dan perilakunya membaik.
d.     Terapi Snoezelen
Snoezelen berasal dari bahasa Belanda, snuffulen (to sniff yang berarti mencium) dan doezelen (to doze atau tidur sebenta) yang bermakna nyaman dan rileks. Tujuan dari terapi ini yakni untuk mempengaruhi sistem saraf sentra anak dengan cara memperlihatkan rangsangan yang cukup pada sistem sensori primer anak.
e.     Terapi Wicara
Terapi ini merupakan terapi yang diberikan untuk melatih kemampuan anak dalam memberikan informasi melalui komunikasi mulut memakai media bahasa atau linguistik.
f.       Terapi Biomedis
Merupakan cara melaksanakan perbaikan pada anak melalui perbaikan metabolisme tubuhnya, menyerupai zat-zat yang mengganggu metabolisme dan fungsi sistem syaraf anak. Terapi memang tidak mengecewakan rumit dan tidak bisa dilakukan sembarangan (Sunu, 2012).
g.     Terapi Lingkungan Sosial
Tujuan dari terapi ini yakni mengendalikan dan meminimalkan perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar anak, serta menurunkan atau mengubah sikap yang mengganggu.
h.     Terapi Bermain
Pelaksanaan terapi ini sebaiknya lebih fokus pada evaluasi klien pada lingkungan. Oleh alasannya yakni itu, terapi ini harus bisa mengembangkan tumpuan interaksi sosial yang berstruktur dengan mempraktikkan ketrampilan sosial melalui tumpuan bermain dan tetap memperlihatkan penguatan positif pada sikap yang sesuai (Pieter, dkk., 2011).
2.1.9     Perkembangan Anak Autis
Pada usia bayi memang sulit untuk mendiagnosa apakah bayi menderita autis atau tidak, tetapi penting untuk mengetahui tanda-tanda dan tanda penyakit ini semenjak dini biar penanganan sanggup segera dilakukan sehingga lebih cepat memperlihatkan hasil yang lebih baik. Ada beberapa tanda-tanda yang harus diwaspadai terlihat semenjak dan berdasarkan usia :
a.     Usia 0-6 Bulan
1)     Bayi jarang menangis
2)     Terlalu sensitif atau cepat terusik
3)     Gerakan tangan dan kaki hiperbola terutama ketika dimandikan
4)     Tidak ditemukan senyum sosial usia >10 minggu
5)     Tidak ada kontak mata usia > 3 bulan
6)     Perkembangan motorik kasar atau halus sering tampak normal
b.     Usia 6-12 Bulan
1)     Jarang menangis
2)     Terlalu sensitif
3)     Gerakan tangan dan kaki berlebihan
4)     Sulit digendong
5)     Menggigit tangan dan tubuh orang lain secara berlebihan
6)     Tidak ditemukan senyum sosial; tidak ada kontak mata
7)     Perkembangan motori kasar atau halus tampak normal
c.      Usia 12-24 Bulan
1)     Kaku bila digendong
2)     Tidak mau bermain permainan sederhana (ciluk ba, da-da)
3)     Tidak mengeluarkan kata
4)     Tidak tertarik pada boneka
5)     Memperhatikan tangannya sendiri
6)     Terdapat keterlambatan perkembangan motorik kasar atau halus
7)     Mungkin tidak mau mendapatkan kuliner cair
d.     Usia 2-3 tahun
1)     Tidak tertarik bersosialisasi dengan anak yang lain
2)     Melihat orang sebagai benda
3)     Kontak mata terbatas
4)     Tertarik pada benda tertentu
5)     kaku bila digendong
e.     Usia 4-5 Tahun
1)     Mengeluarkan bunyi yang aneh
2)     Marah bila rutinitasnya berubah
3)     Menyakiti diri sendiri
4)     Pemarah (tempramen) atau agresif
(Rachmawati, 2012).
2.1.10  Hambatan Belajar Pada Anak Autis
Berbagai gangguan yang dialami oleh anak autis secara potensial mempunyai resiko tinggi terhadap munculnya kendala dalam banyak sekali aspek perkembangan, baik fisik, psikologis, sosial atau bahkan totalitas perkembangan kepribadiannya. Kondisi ini menimbulkan permasalahan yang akan menimbulkan anak mengalami kendala atau gangguan dalam belajar. Secara umum, Hadis (2006) mengungkapkan beberapa gangguan yang dialami oleh siswa (anak) autis terkait dengan kegiatan berguru diantaranya:
a.     Perilaku
Adanya sikap khas pada anak autis sering kali menciptakan para guru dan siswa lain di kelas bingung. Perilaku tersebut sangat tidak masuk akal dan cenderung mengalihkan perhatian. Selain problem sikap yang lebih berupa dorongan dari perkembangan neurobiologis, sering problem sikap merupakan manifestasi dari frustrasi siswa autis itu sendiri (sulit memahami materi belajar, sulit berkomunikasi, sulit berinteraksi) atau reaksi anak terhadap stimulasi lingkungan yang tidak sanggup mereka perkirakan. Keadaan anak yang cenderung peka secara hiperbola (suara, sentuhan, irama) terhadap stimulus lingkungan juga seringkali menciptakan anak berperilaku kurang menyenangkan. Anak autis mengalami gangguan dalam perkembangan modalitas sensorinya (hypersensitivities atau hyposensitivities) sehingga sulit memfokuskan perhatian pada suatu informasi. Keadaan ini menimbulkan kesulitan untuk melaksanakan seleksi terhadap informasi yang diterimanya dan selanjutnya informasipun tidak sanggup diproses sebagaimana mestinya.
b.     Pemahaman
Adanya gangguan pada proses informasi dan koneksi menimbulkan munculnya kendala anak autis mengikuti pelajaran di sekolah umum. Mereka lebih berespons terhadap stimulus visual, sehingga instruksi dan uraian mulut (apalagi yang panjang dalam bahasa rumit) akan sulit mereka pahami. Kecenderungan mono pada diri anak autis tidak memungkinkan mereka mengerjakan 2-3 hal sekaligus pada satu waktu yang sama (menatap sambil mendengarkan, mendengarkan sambil menulis). Gaya berpikir mereka yang visual dalam bentuk film, gambar, ataupun berbentuk benda nyata, menciptakan reaksi mereka lebih lambat daripada anak lain, dimana mereka memerlukan jeda waktu lebih usang sebelum merespon sesuatu. Anak autis mengalami kesulitan memusatkan perhatian, sering ter-distraksi, apalagi di kelas dengan jumlah siswanya cukup banyak dengan bunyi yang sangat hiruk pikuk. Proses pemahaman ini memang tidak hanya ditentukan oleh kemampuan memproses informasi namun juga dipengaruhi oleh potensi yang dimiliki oleh anak autis. Pada anak autis yang tergolong low functioning (berkemampuan rendah) pemahaman terhadap sebuah informasi akan lebih sulit dilakukan bila dibandingkan dengan anak yang high functioning (berkemampuan tinggi).
c.      Komunikasi
Merupakan salah satu gangguan yang dialami oleh anak autis, dimana mereka sulit mengekspresikan keinginan ataupun kemampuan dirinya. Kemampuan anak autis untuk mengungkapkan sesuatu sulit direalisasikan, contohnya bila di beri instruksi atau perintah mereka tidak gampang untuk merespon atau bila anak menginginkan sesuatu sulit untuk mengungkapkan keinginannya kepada orang lain. Sebagian besar anak autis, meskipun sanggup berbicara namun lebih sering memakai kalimat pendek dengan kosakata yang sederhana. Seringkali mereka sanggup mengerti apa yang disampaikan oleh orang lain, apabila orang tersebut berbicara eksklusif kepada mereka atau menatap kearah mereka. Itu sebabnya kadang anak autis tampak seakan tidak mendengar, padahal kita memanggil mereka dengan bunyi yang sudah cukup keras. Anak autis yang sulit berkata-kata atau berbicara, seringkali mengungkapkan diri melalui perilaku. Semakin mereka tidak dipahami, maka mereka semakin frustrasi. Lingkungan yang kurang sanggup melihat ciri ini secara obyektif akan memaksakan biar bawah umur tersebut berbicara dalam mengungkapkan diri, sehingga berakibat tekanan pada mereka yang kemudian menciptakan mereka berperilaku negatif.  Keadaan ini sering kali dianggap bahwa anak autis tidak mempunyai kemampuan, hasilnya kebutuhan berguru anak tidak terakomodasi dan terhambat, oleh lantaran itu, penting memahami hal-hal khusus yang ada pada anak autis.
d.     Interaksi
Anak autis juga bermasalah pada perkembangan keterampilan sosialnya, sulit berinteraksi, tidak bisa memahami aturan-aturan dalam pergaulan, sehingga biasanya tidak mempunyai banyak teman. Kemampuan adaptasi diri pada anak autis merupakan problem yang sangat menonjol. Interaksi sosial, komunikasi, dan sikap yang ditampilkan seringkali menimbulkan anak sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Akibatnya banyak sekali kegiatan pembelajaran seringkali sulit diikuti oleh anak autis. Oleh lantaran itu dibutuhkan persiapan dan taktik yang matang biar pengelolaan dalam pelaksanaan pembelajaran anak autis sanggup berlangsung efektif. Minat anak autis yang terbatas pada orang lain di sekitarnya menciptakan mereka lebih bahagia menyendiri atau sangat pemilih dalam bergaul, mereka  hanya mempunyai 1-2 sahabat yang sanggup memperlihatkan rasa kondusif kepada mereka dan pada umumnya anak autis mengalami kesulitan menyesuaikan diri dalam kelompok yang dibuat secara acak atau mendadak. Misalnya kelompok diskusi kelas yang anggotanya ditunjuk secara eksklusif oleh guru seringkali menciptakan anak autis tidak nyaman sehingga tidak bisa berkontribusi dalam diskusi di kelompoknya (Jurnal: Mutia, 2011).
Menurut Sugiarmin (2011) kendala atau gangguan dalam berguru tersebut sanggup dianalisis melalui tiga dimensi berikut ini:
a.     Dimensi proses
Berkaitan dengan ketidakmampuan, kesulitan, atau kegagalan untuk mendapatkan dan menafsirkan informasi. Hambatan dalam berinteraksi sosial dan memfokuskan perhatian kepada objek berguru menimbulkan anak tidak sanggup menyerap dan merespon secara tepat dan benar terhadap banyak sekali stimulus atau perintah dalam mengikuti kegiatan belajar.
b.     Dimensi produk
Berkaitan dengan kegagalan untuk mencapai prestasi sesuai cita-cita atau tujuan. Proses berguru akan sangat dipengaruhi oleh kemampuan menerima, menyerap dan merespon informasi yang diberikan. Anak yang tidak sanggup melaksanakan proses tersebut akan mengalami kesulitan untuk mencapai prestasi berguru yang diharapkan. Anak autis dengan gangguan yang dialaminya sering gagal untuk mencapai prestasi berguru sebagaimana anak umumnya yang tidak mengalami kendala dalam mendapatkan dan memproses informasi, oleh lantaran itu penting diperhatikan kesesuaian antara tujuan berguru dengan kebutuhan dan kendala yang dialami anak autis.
c.      Dimensi akademik
Berkaitan dengan kesulitan dalam mengikuti pelajaran. Hambatan dalam bidang akademik ini merupakan imbas dari hambatan-hambatan yang menyertai anak autis menyerupai yang telah diuraikan sebelumnya.
2.1.11     Pendidikan Pada Anak Autis
Seperti halnya bawah umur lainnya, anak autis juga mempunyai hak untuk menikmati pendidikan sebagai cuilan dari perkembangan diri mereka. Setiap anak intinya mempunyai kebutuhan khusus dan kecerdasan yang unik, demikian juga dengan anak autis. Cara berguru anak autis mungkin pada taraf tertentu akan berbeda dengan bawah umur mainstream pada umumnya, disinilah sekolah yang menganut filosofi inklusi idealnya akan berusaha memfasilitasi metode berguru terbaik yang dibutuhkan oleh anak.
Sekolah, guru, dan psikolog sekolah merupakan salah satu penunjang tumbuh kembang optimal anak autis dari segi pendidikan, meskipun demikian, orang bau tanah tetap harus memegang kiprah utama yang mengetahui seluk beluk anaknya. Orang bau tanah sebaiknya secara aktif menjalin komunikasi dengan guru dan pihak sekolah mengenai perkembangan putra-putri mereka serta memperlihatkan informasi yang dibutuhkan kepada guru di sekolah yang menangani pendidikan putra-putri mereka (Sunu, 2012).
Sementara itu, guru juga dituntut optimal untuk memahami apa saja kebutuhan, kemampuan yang dimiliki, gangguan atau problem yang dihadapi oleh anak autis, serta perlu mengetahui tumpuan berguru anak sehingga membantu guru dalam memberikan informasi secara tepat. Terdapat beberapa tumpuan berguru anak autis diantaranya:
a.     Rote learner
Yaitu anak cenderung menghafalkan informasi apa adanya tanpa memahami makna simbol yang dihafalkan itu
b.     Gestalt learner
Yaitu anak cenderung melihat sesuatu secara keseluruhan, contohnya menghafalkan kalimat-kalimat secara utuh tanpa mengerti arti kata perkata yang terdapat pada kalimat tersebut.
c.      Visual learner
Yaitu anak gampang memahami sesuatu yang dilihat daripada yang mereka dengar, contohnya lebih bahagia mempelajari buku yang dilengkapi dengan gambar, lebih bahagia melihat gambar di televisi daripada mendengarkan radio.
d.     Hands on leaner
Yaitu anak bahagia mencoba melaksanakan sesuatu dan mendapatkan pengetahuan dari pengalaman mencobanya tersebut.
e.     Auditory learner
Yaitu bahagia bicara dan lebih gampang memahami sesuatu yang mereka dengar daripada yang mereka lihat.
(Mutia, 2011).
2.1.12 Diet Untuk Penderita Autis
Beberapa hebat gizi menganjurkan untuk berpantang dari kuliner yang mengandung gluten dan kasein. Sebenarnya belum ada penelitian yang terperinci mengenai dampak tumpuan makan ini terhadap tanda-tanda autis. Namun banyak orangtua yang mengklaim tumpuan makan ini efektif mengurangi tanda-tanda autis pada anaknya.
Berikut yakni jenis kuliner yang harus dipantang oleh penderita autis:
a.     Gluten
Gluten yakni protein yang terkandung dalam gandum, barley dan tepung terigu. Kelompok advokasi autisme berjulukan Talk About Curing Autism (TACA) merekomendasikan orangtua dengan anak autis untuk membaca label kuliner dengan hati-hati dan menghindari asupan gluten.
TACA juga merekomendasikan untuk menghindari barley, millet dan oat (bahan dalam sereal) lantaran diolah didekat pengolahan gluten dan besar kemungkinannya telah terkontaminasi.
Karena gluten banyak mengandung vitamin dan serat, menerapkan tumpuan makan anti gluten akan memerlukan panduan ketat dari hebat gizi dan dokter biar anak autis tetap mendapat nutrisi yang cukup.
b.     Kasein
Kasein yakni protein yang ditemukan pada banyak produk makanan. Semua produk susu mengandung kasein termasuk keju, yoghurt, susu sapi, susu kambing, susu domba dan bahkan ASI. Kasein sama menyerupai gluten, diduga mempengaruhi proses metabolisme pada individu autis.
Menurut TACA, mengkonsumsi kuliner yang mengandung materi ini menimbulkan tanda-tanda sulit berkomunikasi dan sulit melaksanakan kontak sosial. Menghindari asupan kasein dari kuliner harus dilakukan secara hati-hati lantaran sanggup menimbulkan tubuh kekurangan nutrisi berharga menyerupai kalsium dan vitamin C.
c.      Kedelai
Kecap, tempe dan minyak kedelai yakni beberapa kuliner yang mengandung kedelai. Beberapa kuliner lain juga memakai kedelai sebagai materi bakunya.
TACA merekomendasikan penyandang autis untuk menghindari produk kedelai lantaran kedelai yang diproduksi di Amerika sering dimodifikasi secara genetik sehingga bisa menimbulkan alergi makanan. Bacalah label kuliner dengan cermat dan waspada.
Meskipun tidak ada penelitian yang dengan terperinci menegaskan bahwa membatasi asupan kedelai sanggup membantu meringankan tanda-tanda autisme, TACA menyatakan bahwa orangtua yang menerapkan tumpuan makan ini menyaksikan perbaikan tanda-tanda autis pada anak-anaknya (Harnowo, 2012).

DAFTAR PUSTAKA
  1. Arikunto Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta
  2. Asrinah, dkk. 2010. Asuhan Kebidanan; Masa Kehamilan. Yogyakarta: Graha Ilmu
  3. Bangun, Eviera MBR. 2011. Pola Pendidikan Pada Anak Autis, Skripsi. Medan: Universitas Sumatera Utara
  4. Brilian, Annelis. 2013. Penderita Autisme di Indonesia Terus Meningkat; Tak Banyak Tenaga Medis yang Tertarik, (Online), http://www.jpnn.com/ read/2013/04/12/167064/Penderita-Autisme-di-Indonesia-Terus-Meningkat, (diakses, 29 April 2013).
  5. Cristine, Adriana Poli. 2006. Deskripsi Penerapan Proses Belajar Mengajar Pada Anak Autis Dengan Modifikasi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Skripsi. Surabaya: Fakultas Psikologi UBAYA
  6. Delphie, Bandi. 2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus (dalam Setting Pendidikan Inklusi). Bandung: Refika Aditama
  7. Dewi & Sunarsih. 2011. Asuhan Kehamilan Untuk Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika
  8. Habiburrohman, Muhammad. 2011. Manajemen Pembelajaran Bagi Anak Autis Pada Jenjang SD di Sekolah Khusus Autisme Bina Anggita Kota Magelang, Skripsi. Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo
  9. Harnowo, Putro Agus. 2012. Jumlah Anak Autis di 2012 Makin Banyak, (Online), http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/348-pantangan-buat-anak-autis, (diakses, 29 April 2013).
  10. Hartati, Diah. 2010. Buku Serba Tahu Kehamilan, Persalinan, & Perawatan Bayi. Yogyakarta: Citra Media
  11. Hidayat, A. Aziz Alimul. 2010. Metodologi Penelitian  Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika
  12. Laurent & Reader. 2009. Ensiklopedia Perkembangan Bayi. Jakarta: Erlangga
  13. Malik, dkk. 2010. Kegiatan Olahraga Anak Autis di Sekolah Laboratorium Autisme UM, Laporan Penelitian. Malang: Universitas Negeri Malang
  14. Maulana, Mirza. 2007. Anak Autis; Mendidik Anak Autis dan Gangguan Mental Lain Menuju Anak Cerdas dan Sehat. Yogyakarta: Katahati
  15. Muniroh, Siti Mumun. 2010. Dinamika Resiliensi Orang Tua Anak Autis, Jurnal Penelitian vol.xii no.2. Pekalongan: STAIN Pekalongan
  16. Mutia, Fitri. 2011. Kemampuan Anak Autis Menyerap Informasi Melalui Proses Belajar di Sekolah Inklusi, Jurnal Penelitian. www.autis.info, (diakses, 29 April 2013).
  17. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
  18. Nursalam 2008. Konsep Dan Penerapan Metpen Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
  19. Pertiwi, Putri. 2013. Pola Komunikasi Anak Autis Didalam dan Diluar Sekolah, Jurnal Penelitian. Lampung: Universitas Bandar Lampung
  20. Pieter, dkk. 2011. Pengantar Psikopatologi Untuk Keperawatan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
  21. Pramudiarja, AN Uyung. 2013. Tingkat Keparahan Autisme Dipengaruhi Lamanya Masa Hamil, (Online), http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/350-tingkat-keparahan-autisme-dipengaruhi-lamanya-masa-hamil, (diakses, 29 April 2013).
  22. ______________________. 2013. Obesitas Saat Hamil Berisiko Lahirkan Anak Autisme, (Online), http://www.autis.info/index.php/artikel-makalah/artikel/ 338-obesitas-saat-hamil-berisiko-lahirkan-anak-autisme, (diakses, 29 April 2013).
  23. Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Bina Puataka
  24. Pujiani, Helena. 2007. Dampak Psikologis Orang Tua Yang Mempunyai Anak Autis, Skripsi. Semarang: Universitas Kristen Soegijapranata
  25. Rachmawati, Evy. 2012. www.kompas.com, (diakses, 29 April 2013)
  26. Rukiyah, dkk. 2009. Asuhan Kebidanan I (Kehamilan). Jakarta: Trans Info Media
  27. Setyawan, Farhan. 2010. Pola Penanganan Anak Autis di Yayasan Sayab Ibu (YSI) Yogyakarta, Skripsi. Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
  28. Solikhah, Umi. 2011. Asuhan Keperawatan; Gangguan Kehamilan, Persalinan, dan Nifas. Yogyakarta: Nuha Medika
  29. Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta
  30. Sunu, Christopher. 2012. Panduan Memecahkan Masalah Autisme; Unlocking Autism. Yogyakarta: Lintang Terbit
  31. Supriyono, Daniel. 2013. Autisme Bukan Penyakit, (Online), www.tabloidnova .com/Nova/Kesehatan/Anak/Autisme-Bukan-Penyakit, (diakses, 29 April 2013).
  32. William & Wright. 2007. How to live with Autism and Asperger Syndrome. Jakarta: Dian Rakyat

Sumber https://dr-suparyanto.blogspot.com/
ADSENSE 336 x 280 dan ADSENSE Link Ads 200 x 90

0 Response to "Sekilas Wacana Anak Autis"

Posting Komentar